Gila, benar-benar gila kita ini. Mencap kafir dengan mudah ke orang lain tanpa sadar (baca: mabuk) hampir di seluruh tubuh ini kita menggunakan barang-barang yang dibuat kebanyakan oleh orang kafir.
Kita tak sempat lagi menentukan pilihan, apalagi melanjutkan perjalanan untuk mencapai tujuan. Sebab secara tak sadar, yang kita lakukan setiap saat adalah menginternalisasi permasalahan sebanyak-banyaknya untuk memenuhi dan menyesaki hidup kita. Saking sesak dan berlebihannya, kita tak bisa membedakan mana masalah utama dan mana masalah cuma. Dan ironisnya, kebanyakan dari permasalahan yang kita internalisasi tadi tak sedikit pun bersentuhan dengan kebutuhan pokok hidup kita yang nyata.
Mungkin hal ini terjadi karena dalam menjalani hidup, kita lupa untuk terlebih dahulu mendefinisikan hidup kita itu apa.
Orang-orang yang menggandrungi atau menggilai ketenaran secara otomatis selalu mensugesti diri sendiri bahwa dirinya sudah tenar, sehingga seringkali ia mengabaikan kondisi objektifnya (bahwa ia tidak--atau belum tenar).
Hal inilah yang kemudian membuatnya menghasilkan karya yang kurang atau bahkan tidak otentik dan orisinil. Sebab data yang ia himpun ke dalam proses kreatifnya adalah data yang tidak mewakili kenyataan dirinya yang sesungguhnya (bahwa ia belum tenar dan masih di fase sebagai pejuang dan pesakitan).
Setiap manusia mengandung puisi di dalam dirinya, sama halnya dengan mengandung nafas di dalam paru-parunya. Cara mensyukurinya adalah dengan menuliskannya; mengembuskannya. Sebab puisi adalah keindahan, dan semua orang tentu suka dengan keindahan, bukan?
Kalau dalam sehari, dari bangun sampai tidur lagi manusia tak menambah suatu penyegaran jasmani atau rohani pada dirinya, maka bangunnya tadi (yang seharian itu) adalah bangun mati. Maksudnya ia bangun secara jasad, tapi mati secara jiwa.
Orang-orang yang terburu-buru memutlakan sesuatu, memfinalkan sesuatu, dan mengklaim kebenaran dalam ranah kehidupan itu cuma satu, sesungguhnya merekalah bagian dari pemecah-belah kerukunan kehidupan kolektif sebuah peradaban yang pernah dibangun oleh leluhur pada zaman dahulu kala.
Bekerja, pada umumnya, memang melelahkan. Namun menjadi pengangguran justru lebih menggelisahkan. Membiarkan otak menjadi kosong dan kemudian mengisinya dengan bayangan-bayangan yang fana dan tak menggugah keadaan. Malah cenderung mendorongmu melakukan tindakan destruktif dan sia-sia.
Pada dasarnya (de facto) kita sudah tak percaya terhadap apa yang disebut negara. Namun kita kurang menyadarinya. Kita lebih memilih mempermainkannya dengan perayaan kecil lewat satu-dua kasus yang menunjukan kobobrokan perilaku lembaga-lembaganya.
Manusia-manusia amatiran ialah mereka yang mengutuk sana-sini tentang kehidupan. Memaksakan dunia menjadi seperti apa yang mereka maui tanpa sadar bahwa yang hidup di dunia ini bukan dirinya sendiri.
Kita tidak menampik perubahan yang lahir dari motivasi sosial atau global. Tapi kita mesti mengakui bahwa tak sedikit perubahan besar justru lahir dari motivasi pribadi dan berawal dari hal-hal yang remeh temeh--sekadar iseng-iseng.