Sabtu, 11 November 2017

Masih Banyak Perasaan Yang Belum Ada Namanya

Seorang pecinta tak memberhalakan kamus bahasa. Karena ia sadar, tak semua perasaan bisa diwakilkan oleh kata. Singkatnya begini. Semua kata bisa dirasakan. Tapi semua rasa tak bisa dikatakan. Karena faktanya, dari pengalaman dan pergulatan kita di dalam kehidupan nyata, ada banyak perasaan dan kegetiran-kegetiran yang tidak tersedia padanan katanya di kamus bahasa, yang dalam hal ini secara resmi kita sebut sebagai Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Mungkin kita sudah atau belum pernah mengalaminya, tapi yang pasti kita akan melalui sebuah fase di mana kita akan bertanya, “Perasaan seperti ini namanya apa, ya?
Share:

Jumat, 10 November 2017

Tentang Ibadah 2

Fatalnya, orang yang rajin ibadah sembahyang atau salat rentan merasa diri lebih baik dibanding mereka yang tidak beribadah. Ini jelas cilaka yang terselubung. Sebab dengan merasa diri lebih baik dan lebih suci, mereka akan gampang menghakimi orang lain.

Padahal yang perlu kita sadari adalah bahwa ibadah itu kesunyian masing-masing. Sedangkan suci atau mulianya seseorang itu bukan ditentukan oleh sesama manusia, melainkan oleh Tuhan yang diimaninya. Meminjam amsal dari Emha Ainun Nadjib: Hanya wali guru yang layak menilai rapor murid-muridnya. Sesama orangtua murid tak berhak menilai rapor sesama murid. Artinya, sesama hamba tak pantas menghakimi sesama hamba, hanya Tuhan yang punya hak untuk memberi nilai kepada semua umatNya.
Share:

Tentang Ibadah 1

Kualitas ibadah seseorang itu terlihat dari setelah ibadah ia menjadi lebih baik atau tidak. Dan baik atau tidaknya seseorang itu yang utama dilihat dari perilaku (akhlak) sosialnya. Minimum ia tidak meresahkan dan menjadi ancaman bagi orang lain dan lingkungan sekitar.

Intinya, jangan menilai seseorang hanya karena dari ketaatan atau kerajinan ibadahnya belaka. Karena tak sedikit orang yang berperilaku bangsat adalah mereka yang rajin ibadah dan tak sedikit orang yang berbuat baik dengan tulus-ikhlas tanpa pamrih berasal dari orang yang tak beribadah ataupun tak beragama sebagaimana umumnya.
Share:

Agar tak Berpikir Dangkal, Setiap Orang Harus Radikal

Agar tak berpikir dangkal, setiap orang harus radikal. Tapi radikal yang saya maksud bukan radikal seperti yang dimaknai oleh media massa arus utama dan para cendekia yang bercucuk pada penguasa.

Radikal versi media massa arus utama dan barisan penguasa itu radikal yang sesat makna dan tak jelas sumber referensinya. Radikal itu ya berakar, berdasar, dan ada pertanggung-jawaban filosofis dan ideologisnya. Sebagaimana Bung Karno, Tan Malaka, dan lain-lain, radikalisme justru dianjurkan sebagai landasan pemikiran dan perbuatan. Sebab atas dasar radikalisme itulah para founding fathers kita berjuang memerdekakan bangsa Indonesia dari penjajahan.
Share:

Bahaya dan Yang Dibahaya-bahayakan

Memang betul, ada banyak hal yang berbahaya di dunia ini. Tapi jauh lebih banyak hal yang dibahaya-bahayakan. Jadi singkatnya, kita bisa membagi bahaya ke dalam dua jenis. Yang pertama, suatu hal yang berbahaya yang an sich memang berbahaya. Misalnya, bom, pistol, pornografi, dan sebagainya.

Sedangkan yang kedua, suatu hal yang dianggap bahaya atau dibahaya-bahayakan karena interpretasi pikiran dan ketakutan manusia. Misalnya, hantu, Marxisme, HTI, FPI, dan sebagainya.
Share:

Sabtu, 04 November 2017

Terorisme Pertanyaan "Kapan Nikah"

Tak usah mengintimidasi orang lain dengan pertanyaan norak macam "kapan nikah" atau "kapan wisuda" bila bukan kau yang membiayai kuliahnya atau bukan kau yang membiayai nikahnya berikut menyodorkan pasangan yang kelak akan menjadi suami atau istrinya.

Mungkin maksudmu melontarkan pertanyaan yang demikian itu tanpa intensi apa-apa alias hanya sebagai bahan bercandaan atau basa-basi belaka, tetapi kau tak memikirkan sejauh mana dampak dari pertanyaan itu. Sebab yang merasakannya adalah orang yang kau lempari pertanyaan tadi. Kau tidak mengerti akan tekanan, pukulan, dan ketakutan yang disebabkan oleh pertanyaan tersebut. Dan kalau sampai orang yang ditanyai tadi memutuskan bunuh diri dalam waktu dekat, maka kaulah orang yang pertama harus dipolisikan karena terindikasi telah melakukan tindakan teror.
Share:

Tak Ada yang Salah dengan Mengucapkan "Terima Kasih" Kepada Apa dan Siapa Saja

Tak ada yang salah dengan mengucapkan "terima kasih" kepada apa dan siapa saja. Karena segala yang membentuk diri kita hari ini tak terlepas dari apa dan siapa yang meliputi hidup kita. Bahwasanya, sadar atau tidak disadari. Tahu atau tidak diketahui. Kenal atau tidak dikenali. Semua yang ada di dunia ini memengaruhi pencapaian dan posisi kita hari ini.

Tapi tak masalah juga bila tak mengucapkan "terima kasih" kepada apa dan siapa saja. Apalagi kalau hidupmu selalu diliputi kesialan, nasibmu apes melulu, dan semua yang kau punya hari ini tak ada yang patut disyukuri dan dibanggakan sama sekali. Mesakno.


Share:

Semua Orang Sama Di Hadapan Hukum, Tapi Beda Di Atas Hukum

Tak ada negara yang betul-betul bisa demokratis, bahkan negara yang katanya menerapkan sistem hukum demokrasi sekalipun.

Setiap negara pasti punya watak otoritarianisme dan despotismenya dalam bentuknya masing-masing. Sebab para elit pemangku kekuasaan dan aparatur hukumnya adalah manusia juga--yang tentunya tidak bisa terbebas 100% dari interes ekopolitik pribadi.

Faktanya, hukum tak bisa berlaku adil pada semua orang. Pasti akan ada pihak yang diuntungkan dan dirugikan dari setiap keputusan hukum. Dan dalam hal ini, pihak yang diuntungkan dan menjadi pemenang atas hukum adalah para elit dan atau aparatur hukum itu sendiri.

Maka kalau ada yang hari-hari ini masih dengan naif memercayai jargon "equality before the law", katakan saja: Iya, semua orang sama di hadapan hukum, kecuali orang yang punya kekuasaan; mereka kedudukannya beda, bukan di hadapan, tapi di atas hukum.
Share:

Tak Perlu Bangga dengan Demokrasi karena Orang Amerika Sendiri Juga Menkritik Demokrasi

Tak perlu bangga dengan demokrasi. Sebab profesor linguistik Noam Chomsky, orang Yahudi yang hidup di Amerika Serikat sendiri mengatakan bahwa propaganda di negara demokrasi itu sama buruknya dengan teror pemerintah di negara diktator.

Bahkan lebih tegas, mantan menteri Amerika Serikat William Blum mengatakan bahwa demokrasi adalah ekspor paling mematikan dari Amerika Serikat.
Share:

Melihat Kenyataan Faktual dengan Teori Faktual

Kalau melihat suatu peristiwa atau fenomena, lihatlah ia sebagai kenyataan, bukan berdasarkan teori yang hanya menghasilkan pernyataan "harusnya begini ... harusnya begitu."

Memang, menganalisis suatu masalah dengan menggunakan teori itu baik. Tapi kalau ujung-ujungnya cuma memaksakan kenyataan yang ada untuk mengikuti teori maka, ya sudah, kita tak akan maju ke mana-mana alias akan terus-terusan bergelut di dalam masalah-masalah yang sama.

Mengkaji demokrasi, misalnya, kalau tak dipandang sebagai praksis, kita akan melulu menipu diri dengan teori-teorinya, yang kita tahu, pastinya semua bersifat baik-baik. Ya, pada dasarnya, tak hanya demokrasi, hampir segala hal di dunia ini kalau hanya kita tilik secara teori cenderung sifatnya baik. Politik itu baik, negara itu baik, hukum itu baik, korporasi itu baik, birokrasi itu baik, bahkan industri dan kapitalisme pun ada sisi baiknya secara teori. Tapi pertanyaannya, apakah kita (hanya) hidup di alam teori?

Tidak! Kita hidup di atas lapangan kenyataan. Maka alih-alih memaksakan kenyataan agar mengikuti teori lama yang sudah ada, buatlah teori baru berdasarkan praksis faktual yang tengah berlangsung. Agar bisa kita dapati fakta terbaru mengenai relevansi sebuah teori dengan praktik. Bisa saja besok-besok akan ada temuan baru, misalnya, setelah mengkaji problematika bernegara hari-hari ini maka lahir sebuah teori baru bahwa sesungguhnya negara sudah tak layak lagi untuk ada di kehidupan zaman kiwari. Atau ada teori baru lainnya yang mengatakan bahwa setiap politisi mesti dicambuk sampai mati.

Semua itu mungkin saja bila kita berani merumuskan teori baru berdasarkan kenyataan yang ada, bukan justru segala hal yang terjadi hari ini hanya dilihat dengan teori lama nan usang berikut kadaluwarsa dan pantas binasa itu.
Share:

Membaca Untuk Menjadi Diri Sendiri

Berilmu itu bukan soal membaca banyak buku, tapi membaca buku yang bermutu. Sebab buku tak ada habisnya, sedang waktu ada batasnya. Pertanyaannya, bagaimana cara mengetahui buku-buku yang bermutu? Jawabannya, ketahui buku-buku yang dibaca (lebih bagus lagi kalau langsung direkomendasikan) oleh penulis, pemikir, atau tokoh-tokoh hebat yang kita sukai.

Tapi paradoksnya, mengutip Haruki Murakami, "Jika kau membaca buku yang orang lain baca, kau akan berpikir sama seperti orang lain." Maka mau tidak mau, kita perlu membaca banyak buku, untuk menjadi otentik diri kita sendiri.

Jadi membacalah sebisa-bisanya dan sesuka-sukanya. Terutama membaca frasa yang tertera di pintu gerbang Kuil Apolo di Delphi yang berbunyi: "Gnōthi seauton." Yang artinya, kenali dirimu. Dengan mengenali diri sendiri-lah kita bisa menjadi diri sendiri.
Share:

Negara Namanya, Perusahaan Esensinya

Semakin hari, negara semakin menunjukkan dirinya sebagai bukan negara melainkan hanya sebagai organisasi yang dikelola oleh kaum komprador yang kerjanya adalah membuat undang-undang yang melegitimasi pasar bebas dan membuka pintu selebar-lebarnya kepada kapitalisme untuk menindas warga negaranya.

Negara hanyalah bentuk belaka. Tapi esensinya ia berfungsi tak lebih dari sebuah perusahaan. Warga negaranya hanyalah objek, statistik, dan mesin produksi yang tugasnya hanya memperkaya industrinya. Tak lain dan tak bukan semata-mata hanya untuk mendapat keuntungan golongan.
Share:

Jangan Berpihak pada Orang, Berpihaklah pada Nilai

Jangan berpihak pada orang. Tapi berpihaklah pada nilai. Karena orang bisa berubah pendirian sesuai kepentingan. Sedangkan nilai adalah akar fundamental yang memantapkanmu untuk menjadi seseorang yang tak bisa diombang-ambingkan oleh keadaan dan perubahan sikap orang-orangnya.

Keberpihakan pada nilai adalah keberpihakan pada ideologi dan visi-misi perjuangan serta penegasan keteguhan hati untuk menemukan yang sejati di dalam hidup ini. Tapi apa yang dimaksud dengan "yang sejati di dalam hidup ini"?

Entahlah. Setiap nilai yang dirumuskan oleh setiap orang tentunya berbeda-beda. Tapi yang pasti, sesuatu yang sejati itu bukan yang justru mengakibatkan orang lain menjadi terganggu, terancam, ketakutan, sakit hati, dan malah mati. Dalam Islam ia disebut sebagai rahmatan lil alamin. Ialah yang menjadi rahmat bagi seru sekalian alam.

Tapi. Entahlah.
Share:

Kutu Pengetahuan

Kutu itu punya kutu. Kutunya kutu punya kutu lagi. Kutu kutunya kutu punya kutunya lagi. Begitu seterusnya sampai kau mati kutu.

Singkat kata, saya mau bilang, tak usah kita terlalu mendewakan para ilmuwan. Mereka memang mengetahui banyak hal, tapi bukan segala hal. Apalagi mereka ilmuwan yang hidup di menara gading. Sebab, kehidupan yang dijalankan itu jauh lebih luas dibanding kehidupan yang dituliskan.

Bahwa sejatinya, hidup itu lebih banyak praktiknya ketimbang teorinya. Karena dari awal ia berlangsung, manusia menyandarkan pengetahuan dan pengalamannya berdasarkan praktik. Teori baru menyusul belakangan. Lagipula, di sesama kalangan ilmuwan saja banyak perbedaan pandangan dan benturan pengetahuan, kok. Jadi sekali lagi saya katakan, tak usah kita terlalu mendewakan mereka para ilmuwan itu dengan segala teori-teorinya.

Tapi, bukan berarti kita tak usah belajar teori juga, sebab kata K.H. Marx, “Ohne radikale theorie keine radikale bewegung.” Tanpa teori radikal mustahil ada praktik radikal. Artinya, teori itu penting untuk dijadikan sebagai pedoman berpikir yang baik dan benar. Teori itu sangat vital sebagai bahan dasar dalam memandang kehidupan.

Eh, tapi sekadar informasi saja, nih, "K.H." di atas itu singkatan dari "Karl Heinrich", ya ... tapi kalau mau diartikan sebagai "Kiai Haji" juga tak apa. Wong Setya Novanto saja bisa pakai nama "K.H.", kok. Entah maksudnya adalah "Kiai Haji" atau "Kebal Hukum" atau apa, entahlah, hanya Tuhan yang tahu.
Share:

Senin, 30 Oktober 2017

Kira-kira Siapa yang Sesungguhnya Rasis?

Ada orang yang menuding orang lain yang bercadar sebagai rasis karena menurutnya kearab-araban dan tidak indonesiawi dan nusantarawi. Padahal si yang bercadar ini tak ada maksud bersikap rasial sedikit pun lewat penampilannya. Ia cuma melaksanakan apa yang diyakininya tanpa ada niat mengolok, mengganggu, atau mengancam orang lain.

Kira-kira dari kasus di atas, siapa yang sesungguhnya bersikap rasis?
Share:

Membeo Pada Katanya-Katanya

Tak sedikit dari kita yang sering membicarakan sesuatu, bahkan merasa takut terhadap sesuatu, tanpa benar-benar tahu tentang keapaan dan kebagaimanaan sesuatu itu sendiri.

Kita menciptakan sendiri pengetahuan tentangnya. Membayangkan kengerian-kengeriannya. Dan kemudian merasa takut berikut mengecamnya, mengutuknya, dan berkampanye pada orang lain untuk ikut merasakan perasaan yang sama.

Inilah rantai setan ketololan yang disempurnakan lewat sikap pongah dan rasa diri paling benar. Padahal sejatinya apa yang kita tahu dan percaya itu cuma lahir dari rasa takut yang sudah kelewat berlebihan karena telanjur membeo pada katanya-katanya dan kadung nyaman dengan indoktrinasi yang berkuasa--yang masif dijalarkan.
Share:

Salah Satu Ciri-Ciri Tulisan yang Tak Layak Dibaca

Tulisan, baik artikel, esai, maupun dalam bentuk buku, yang isinya menyematkan kata "Pak" di depan nama seseorang dan tidak menyertakan kata "Pak" di depan nama seseorang lainnya--padahal orang-orang yang dituliskan itu, baik usia maupun kedudukannya di masyarakat, sama besarnya--adalah tulisan yang tak layak dibaca. Sebab sudah bisa kita tengarai berpihak ke siapa dan ke mana isi tulisan itu.

Orang-orang yang menulis begitu entah karena terlalu lugu atau terlalu dungu atau terlalu apalah sehingga tak bisa "membohongi" pembacanya dengan menyajikan tulisan yang betul-betul terlihat netral dan independen. Mereka itu jangankan berlaku adil sejak dalam pikiran; bahkan sekadar menulis "Pak" atau tidak sama sekali ke semua orang yang mereka tuliskan saja tak becus.
Share:

Orson Welles: Anda tidak Akan Merasa Takut bila Anda tidak Tahu.

Pengetahuan terkadang justru menimbulkan ketakutan. Olehnya itu Orson Welles berkata, "Anda tidak akan merasa takut bila anda tidak tahu." Tapi agaknya pernyataan itu tak sepenuhnya benar juga. Sebab secara alamiah ketakutan itu sudah ada pada diri manusia sejak bayi.

Contohnya bayi. Bayi secara naluriah bisa merasa takut pada orang asing atau benda tertentu tanpa berlandaskan pengetahuan tentang orang atau benda itu.

Tapi kalau kita merujuk pada pernyataan di atas, rasa-rasanya, pernyataan itu tidak ditujukan kepada bayi. Alias pernyataan Welles tersebut ada berlaku pengecualiannya, yaitu untuk bayi.

Jadi sejauh ini, oke-oke sajalah. Saya sepakat, deh, "Anda tidak akan merasa takut bila anda tidak tahu."
Share:

Agar tak Disebut Kurang Piknik

Sebelum mentransformasikan pikiranmu ke dalam perkataan--entah lisan entah tulisan--pastikan terlebih dahulu bahwa kau tidak sedang kelaparan. Sebab pada umumnya, kata-kata yang dilisankan atau dituliskan dalam keadaan lapar cenderung bernuansa marah dan penuh ketegangan. Sehingga malah membuatmu terkesan terlalu serius dan terlalu panik. Dan kalau sudah begitu, orang akan menyebutmu "kurang piknik".
Share:

Tanpa Cinta, Politik Hanya Mengawetkan Kebencian

Ketimbang politik, akan lebih baiknya bila yang kita bicarakan adalah cinta. Sebab problem utama kita hari-hari ini bukanlah tentang perbedaan pilihan (afiliasi) politik, tapi tentang gersangnya rasa mencintai yang kita miliki.

Politik itu keniscayaan, tapi menjalankannya tanpa rasa cinta dan aspirasi terhadap kemanusiaan hanya akan membuat kita semakin memperparah permusuhan dan mengawetkan kebencian.
Share:

Minggu, 29 Oktober 2017

Manusia yang Tak Punya Hati Nurani bukanlah Manusia

Jangan berharap orang berlaku baik padamu, karena itu hanya membuang-buang waktu. Berlaku baiklah pada orang maka orang akan berpikir ulang untuk memburukimu. Ada salah satu kutipan menarik dari film American History X (1998) yang berkenaan dengan soal ini. Bunyinya begini:

"Kita bukanlah musuh, tapi sahabat, tak seharusnya bermusuhan. Walaupun nafsu kadang yang berbicara, bukan berarti hilang kasih sayang. Suara mistis kenangan akan terus terngiang jika didengungkan pada mereka, oleh sisi baik dari sifat kita."

Jadi pada prinsipnya, anggap saja semua orang sebagai sahabat atau teman kita, atau minimum: bukan musuh kita. Sehingga mereka akan selalu kita perlakukan dengan baik. Perkara bila ternyata mereka membalas dengan "air tuba", maka berarti mereka telah gagal untuk kita anggap sebagai manusia; bahkan sebagai musuh pun tak pantas. Sebab itu artinya mereka tak punya hati nurani; mereka adalah binatang murni.
Share:

Polisi Bahasa Gadungan

Orang yang tak punya ide pembanding atau kemampuan membantah argumen biasanya akan mencari celah pada kekeliruan penulisan, ejaan, dan tanda baca.

Itulah ciri-ciri orang-orang kerdil. Bukan merespon substansi debat atau diskusi yang tengah berlangsung tetapi malah menyasar berikut mengeksploitasi secara berlebih-lebihan kekeliruan penulisan yang dilakukan oleh lawan debatnya.

Sok jadi polisi bahasa, padahal cuma polisi gadungan.
Share:

Sabtu, 28 Oktober 2017

Risiko One Man One Vote di Negara Yang Mayoritas Masyarakatnya Tolol

Di negara yang orang tololnya jauh lebih banyak dibanding orang pandainya, pemilu sistem one man one vote itu malapetaka.

Bayangkan saja, bagaimana mungkin orang yang berpikir dan berkata baik saja tidak bisa, disuruh memilih pemimpin yang baik? Dengan kata lain, sungguh sangat berisiko tinggi dan berbahaya bila masyarakat yang nalarnya tidak kompeten dan moralnya sangat rendah mesti disuruh untuk memilih pemimpin atau wakilnya ke pemerintahan.

Maka fakta dari dominasi ketololan di dalam demokrasi itu takkan menghasilkan perbaikan apa-apa selain semakin menyempurnanya suatu kehancuran.
Share:

Memanusiakan Kemajuan

Yang tak kalah penting dari memajukan manusia adalah memanusiakan kemajuan.

Kita sering egois untuk menghendaki agar setiap manusia mesti maju. Tapi kita lupa, konsep kemajuan setiap manusia itu berbeda-beda. Kita menghargai orang-orang yang ingin memajukan manusia. Tapi, kalau dengan memajukan manusia malah membuat manusia menjadi tidak manusia?

Sebelumnya kita tahulah konsep "kemajuan" yang dimaksud dalam kehidupan dewasa ini. Ialah yang paling globalistik, modernistik, teknokratik, dan lain-lain. Tapi pernyataannya, apakah semua orang di dunia harus begitu? 

Saya rasa, tidak juga. Sebab setiap orang punya latar belakang dan pandangan hidup yang berbeda-beda. Maka alih-alih memajukan manusia, akan lebih tepat bila yang kita perjuangkan adalah kedaulatan manusia atas dirinya sendiri.

Singkatnya, setiap manusia boleh "maju" dalam bentuk apa pun. Asal tetap "maju" sebagai dirinya sendiri. Jangan kemajuan malah mengakibatkan manusia teralienasi; terasing dari dirinya sendiri--apalagi bila sampai menjadi tak lebih dari sekadar mesin.

Itulah poin dari "memanusiakan kemajuan". Dalam falsafah Kei dibahasakan: Hirani ntub fo ih ni, it did entub fo it did. Secara harfiah maknanya, milik orang lain tetap jadi milik orang lain dan milik kita tetap jadi milik kita.

Tapi makna filosofisnya lebih luas. Yakni bisa bermakna: diri orang lain adalah diri orang lain dan diri kita adalah diri kita. Pandangan orang lain adalah pandangan orang lain dan pandangan kita adalah pandangan kita.  Atau kalau dalam frasa Alquran bunyinya, lakum dinukum waliyadin. Bagimu agamamu bagiku agamaku. Bagimu pandanganmu bagiku pandanganku.

Jadi, tak perlu ada pemaksaan dalam hal apa pun. Apalagi soal pandangan hidup dan pemaknaan terhadap konsep "kemajuan" tadi.
Share:

Minum Air Membunuhmu

Kalau ada orang tolol yang latah untuk mengikuti peringatan busuk dari pemerintah bahwa "rokok membunuhmu". Maka katakan pada mereka bahwa tak hanya rokok; gula, garam, dan segala apa pun punya potensi membunuhmu.

Ya, segala hal di dunia ini bisa membunuhmu. Tapi yang membunuhmu itu bukan zatnya, melainkan dari caramu menggunakan dan memperuntukkannya. Dan yang paling berbahaya dari semua itu adalah segala sesuatu yang kaukonsumsi secara berlebihan dan tanpa aturan. Dengan kata lain, berbahaya atau tidaknya sesuatu bukan terletak pada zatnya tetapi pada keberlebihanan dan kekeliruanmu dalam mengonsumsi zat itu.

Omong-omong, sepeda motor dan mobil itu juga pantas ditempel stiker "BERKENDARA MEMBUNUHMU", lho. Coba saja berkendara dengan kecepatan tak kurang dari 80km/jam. Jadi sudahlah. Tak usah berlebihan, deh. Sebab segala hal yang berlebihan itu pasti berbahaya dan sangat berpotensi membunuhmu.

Eh, air juga membunuhmu, lho. Coba saja sekali diminum langsung segalon penuh. Maka, minum air juga membunuhmu. Waspadalah, waspadalah!
Share:

Jumat, 27 Oktober 2017

Negara Sudah tak Relevan untuk Menjadi Rumah Rakyat

Mula-mulanya negara dibuat untuk mengakomodir hajat hidup orang banyak. Kini negara hanya menambah masalah bagi orang banyak. Tapi dengan melihat keberengsekan pejabat negara-pemerintahan hari-hari ini, rasa-rasanya negara sudah tak relevan untuk menjadi rumah rakyat.

De facto, banyak orang kini sibuk bekerja memenuhi kebutuhan hidupnya--tanpa peduli urusan kenegaraan. Orang sudah apatis. Dan kalau kita selisik, yang bikin riuh itu pejabat, politisi, buzzer, dan lain-lain yang berkepentingan besar pada kuasa. Meskipun tak sedikit juga ada yang berniat baik. Tapi yang berniat baik itu, faktanya, kalah oleh kekuatan-kekuasaan. Orang baik susah survive di dalam sistem yang buruk. Mereka digiling-gilas oleh sistem.

Dalam praksis dewasa ini, negara, seperti kata Leo Tolstoy, tak lebih dari perampokan yang terorganisir. Kalau sudah demikian maka bisa kita simpulkan: hanya orang yang terlalu lugu dan terlalu rendah hati (rendah diri?) saja yang masih berharap perubahan pada negara.
Share:

Hamba Religius yang Materialistis

Yang utama itu bukan setelah kematian ada kehidupan atau tidak melainkan saat hidup, kita menghidupkan atau mematikan. Karena dasar ontologi dari konsep kehidupan setelah kematian adalah reward dan punishment. Surga atau neraka, dalam bahasa agamanya.

Semakin banyak yang "dihidupkan" saat hidup semakin memperbesar kemungkinan mendapat reward/surga di kehidupan setelah mati. Tapi berketuhanan hanya karena mengejar surga, menurut saya, bukanlah prinsip utama kebertuhanan itu sendiri.

Agak sombong mungkin, tapi bagi saya, hanya hamba amatiran yang bertuhan dan beragama dengan tujuan cuma untuk hitung-hitungan pahala dengan Tuhannya. Lucu rasanya bila seseorang sembahyang, berzakat, naik haji, berbuat baik hanya karena berharap untuk mendapat kaveling--berikut bidadari-bidadarinya--di surga, dan bukan untuk Tuhan itu sendiri. Menurut saya ini kesunyataannya bukan fenomena ilahiah tetapi materialisme.

Itulah sekerdil-kerdilnya hamba. Tampaknya seperti religius dan spiritualis, tapi motivasi dasarnya sangat materialistis.
Share:

Dampak Promethean terhadap Ecocide

Sejatinya, manusia itu makhluk alam; bagian dari alam. Tapi lucunya, dewasa ini, manusia merasa diri sebagai pemilik dan penguasa alam. Manusia membuat hak kepemilikan atas alam. Yang ini punya Si A, yang itu punya Si B, dan seterusnya, dan seterusnya ... betul-betul lucu.

Air yang dulunya bebas dikonsumsi sekarang harus dibeli. Tanah yang dulunya bebas ditempati sekarang harus dibeli. Leluhur kita yang hidup ratusan ribu tahun yang lampau mungkin cekikikan melihat kehidupan kita saat ini.

Manusia memandang alam hanya sebagai pemenuh kebutuhan dan pemuas nafsu keinginannya, bukan sebagai sesama makhluk yang harus disayang dan diperhatikan. Eksploitasi gila-gilaan terhadap alam itu lahir dari pemikiran orang-orang yang beranggapan bahwa "alam hanya ada dan harus tunduk padaku".

Kenapa orang-orang bisa berpemikiran begitu? Mungkin karena dominasi pendidikan promethean yang kita terima. Pendidikan promethean itu pendidikan yang pro teknologi, tapi anti ekologis. Hal itu menyebabkan kita menjadi silau dan berlomba-lomba memajukan teknologi dan menyuper-canggihkan segala hal, tapi tak memikirkan dampaknya terhadap kerusakan alam. Bahkan inovasi dan kreasi teknologi yang nyata-nyata menghasilkan ecocide (kehancuran alam) tak kita hiraukan sama sekali. Bomatlah, pokoknya.
Share:

Epicurus dan Konsep Keadilan Universal

Epicurus pernah berkata: "Keadilan tidak pernah ada di dalam dirinya sendiri, namun di dalam urusan manusia dengan yang lainnya di semua ruang dan waktu." Keadilan, dalam perspektif Epicurus, bukan sekadar soal pemerintah dengan rakyat atau manusia dengan manusia, tapi lebih luas: manusia dengan seisi alam raya.

Atas dasar itu kita bisa menyimpulkan bahwa manusia harus berdamai dan bersikap adil pada sesama manusia, hewan, tumbuhan, lingkungan, dan seluruh komponen kehidupan. Sebab kita semua saling berhubungan dan saling berkaitan. Ada ikatan yang, kata Epicurus, membuat kita "tidak melukai dan tidak dilukai."

Itulah hukum dasar kehidupan. Kalau kita mau hidup harmonis dan toto tentrem kerto raharjo kadyo siniram wayu sewindu lawase. Karena menurut Epicurus, "Hukum yang tidak mendorong kebaikan dalam urusan manusia dengan yang lainnya bukanlah hukum yang memiliki esensi keadilan."
Share:

Berhentilah Menggantungkan Nasib Pada Orang Lain

Masalah yang multi-kompleks seperti yang sekarang berlangsung dalam kehidupan bernegara dewasa ini tak bisa diselesaikan dengan cuma mengganti pemimpin (presiden, gubernur, walikota-bupati, anggota dewan, dan lain-lain).

Lagipula, menyitir kata Pramoedya Ananta Toer, "Menggantungkan nasib pada orang lain adalah pekerjaan yang hina dina." Maka daripada pusing memikirkan negara dan melulu dikecewakan oleh penguasa, alangkah lebih baiknya bila setiap kita fokus mengembangkan bakat, keahlian, dan kreatifitas kita masing-masing.

Di sisi lain tak sedikit dari kita yang suka mengutip kalimat Ali bin Abi Thalib yang "aku sudah pernah merasakan semua kepahitan di dunia. Dan yang paling pahit adalah berharap pada manusia," tapi tetap saja percaya, berharap, berikut menggantungkan nasib hidupnya pada orang-orang yang kebanyakan tak kita kenal pribadinya tetapi hanya kita tahu dari spanduk, stiker, televisi, koran, dan media massa lainnya itu.
Share:

Manusia Bagian dari Alam

Manusia hidup dari alam, artinya, alam adalah tubuhnya, dan dia harus mempertahankan dialog dengan alam jika tidak ingin mati. Dengan menyebut bahwa fisik manusia dan kehidupan mental terhubung dengan alam, arti sederhananya adalah alam itu sendiri berhubungan dengan dirinya sendiri, karena manusia adalah bagian dari alam.
Share:

Minggu, 22 Oktober 2017

Pintar Saja Tak Cukup

Ada orang yang pintar, tapi mereka tak bijaksana. Sehingga akibat dari apa yang mereka ucapkan dan lakukan justru hanya semakin menambah rangkaian masalah yang ada.

Oleh karena itu, pintar saja itu tak cukup. Yang lebih utama adalah kebijaksanaan. Dan mestinya muara dan puncak tertinggi sebuah kecerdasan adalah kebijaksanaan.

Ingat, menyelesaikan masalah dengan kecerdasan tanpa kebijaksanaan bukanlah menyelesaikan masalah, tetapi justru memperpanjang masalah.
Share:

Sabtu, 30 September 2017

Kebenaran Temporer

Sifat dari suatu teori, skripsi, atau disertasi adalah kebenaran temporer, bukan kebenaran permanen. Mereka hanya menjelaskan tentang kebelum-salahan dari sesuatu, bukan kebenaran mutlak dari sesuatu. Sebab hidup itu relatif, dinamis, dan dialektis. Segala sesuatu yang ada di dalamnya berubah-ubah dan terus bergerak—bahkan tentang kebenaran sekalipun.

Bahwasanya yang disebut sebagai kebenaran di hari ini, tidak menutup kemungkinan, akan menjadi kesalahan di hari esok sebagaimana kebenaran yang dinyatakan hari ini telah membantah dan meruntuhkan sesuatu yang kita anggap sebagai kebenaran di hari kemarin.
Share:

Persamaan Nasib Komunisme dan Iblis

Komunisme dan iblis itu nasibnya sama. Sama-sama selalu dijadikan sebagai kambing hitam dari segala sesuatu yang dilakukan manusia. Lihat saja, manusia berbuat jahat, iblis yang disalahkan. Kapitalisme yang merusak corak hidup bermasyarakat, komunisme yang disalahkan.

Sungguh kasihan menjadi iblis dan komunisme. Semoga mereka ikhlas atas takdir hidupnya. Sebab dengan demikianlah semakin mulia derajatnya di hadapan Tuhan. Amin, amin, ya robbal alamiin...
Share:

Yang Lebih Hebat dibanding Orang yang Kebal Peluru

Sekebal-kebal orang terhadap peluru, lebih hebat orang yang kebal hukum. Karena semematikan apa pun peluru, ia tetap tunduk pada hukum. Apalagi yang mengendalikan peluru adalah gerombolan kerbau yang bisa dicucuk hidungnya. Bisa dipastikan, si kebal hukum tadi akan semakin digdaya dan menjadi sosok yang The Untouchable.

Kalau sudah demikian maka kita hanya bisa menertawakan kenyataan hidup bernegara ini. Menertawakan sistem hukum dan peradilannya. Menertawakannya. Menertawakannya sampai menangis.


Share:

Jumat, 29 September 2017

Sisifus Perubahan lewat Pemilu

Di dalam kehidupan bernegara yang perubahannya hanya bisa ditentukan oleh penguasa, kita hanya bisa berjuang dan bersuara lewat pemilihan umum (pemilu). Kalau kita kecewa pada penguasa yang satu, kita bisa menggantinya dengan penguasa lainnya lewat pemilu. Kalau masih mengecewakan juga, kita bisa mencari penguasa lain di pemilu selanjutnya. Kalau masih dikecewakan lagi, kita bisa menggantinya lagi dengan penguasa yang lain di pemilu selanjutnya lagi. Dan begitu seterusnya kita lakukan berulang-ulang sampai memasuki usia uzur dan mati. Sampai angin tak kedengaran lagi*. Sampai nasi padang dijual di KFC.

*dikutip dari larik sajak Goenawan Mohammad yang berjudul "Di Beranda ini Angin tak Kedengaran Lagi"
Share:

Negara Perusahaan

Praktik negara saat ini tak lebih dari sekadar perusahaan. Karena yang dikerjakan hanyalah menjual aset, negosiasi saham kepemilikan, mengajak kerja sama negara lain untuk datang berikut berinvestasi di negaranya, berhutang pada negara lain, dan sebagainya, dan seterusnya.

Jelas itu tak ada kaitan apa pun dengan kepentingan rakyat. Tak ada hubungannya dengan perjuangan mengangkat harkat martabat hidup rakyatnya. Tak ada urusannya dengan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Praktik "negara perusahaan" yang demikian itu justru membuat harga diri bangsa semakin ludes. Mendegradasi diri menjadi pengemis. Menengadah tangan pada negara lain. Dianggap kerdil oleh negara lain. Dan jelas, tak senafas dengan semangat berdikari yang dikumandangkan proklamator kemerdekaan bangsa Indonesia, Sukarno.

Share:

Bunga Tidur Anarkisme

Sejujurnya, manusia itu tidak menyukai peraturan, apalagi diatur-atur. Maka ketimbang bernegara, anarkisme justru sesungguhnya lebih dekat dengan fitrah manusia.

Anarkisme bukanlah barbarisme atau vandalisme. Sebab kesetaraan dan jaminan kesejahteraan setiap orang adalah bagian dari tujuan anarkisme. Seperti kata Alexander Berkman, di dalam anarkisme tidak ada siapa yang memperbudak siapa. Setiap orang harus hidup layak dan merdeka.

Anarkisme bukanlah seperti yang didefinisikan media massa kebanyakan saat ini. Itu keliru. Rabi-rabi anarki tidak menganjurkan yang demikian. Anarkisme itu kemerdekaan secara kaffah. Kalau kata Bakunin, anarkisme berarti kemerdekaan mereka adalah kemerdekaanku.

Tapi memaksakan anarkisme adalah sesuatu yang sukar dan hampir tak masuk akal saat ini. Sebab—mengutip Emma Goldman—"institusi negara adalah kekuatan yang telah beratus-ratus tahun memperbudak massa melalui penguasaan psikologi massa."

Kita sudah kadung terbelenggu oleh ilusi negara. Membayangkan hidup tanpa negara seperti membayangkan kiamat tiba. Padahal, esensinya negara itu sudah tidak ada. Negara yang kita sebut negara saat ini, de facto, tak lebih dari sekadar perusahaan.

Jadi, lebih baik tidur saja dan biarkan anarkisme tumbuh menjadi bunganya. Kalau terlalu serius juga bisa bahaya; bisa stres, bahkan stroke. Ya, anarkisme itu penting, tapi kalau diperjuangkan dalam keadaan sakit ... ya gak lucu juga.
Share:

Jumat, 22 September 2017

Rakyat Butuh Uang, Bukan (Janji-Janji) Perubahan

Dalam setiap peristiwa politik yang melibatkan rakyat, hanya sedikit yang dilakukan karena inisiatif, kebanyakan disebabkan oleh insentif.

Apalagi dalam momentum politik yang gebyar, hampir mustahil terwujud bila rakyatnya tak terlebih dahulu dibayar. Sebab di zaman yang segalanya serba praktis dan instan namun di saat yang sama kehidupan rakyat serba berkekurangan, orang lebih butuh uang ketimbang janji-janji perubahan.
Share:

Selasa, 29 Agustus 2017

Semua Karena Cinta, bukan Negara

Cinta itu lebih konkret daripada negara. Buktinya, engkau setiap hari bekerja bukan demi bangsa dan negara tetapi demi dirimu sendiri dan orang yang engkau cinta.

Contoh lainnya, tidur itu kemewahan, tapi kenapa sering tak kita turuti dan lebih memilih bangun untuk melakukan sesuatu yang kadang justru malah tidak menyenangkan sama sekali dibanding tidur? Jawabannya karena ada harapan, ada cinta, ada kehendak perubahan yang sangkil pada diri sendiri, keluarga, dan orang-orang tercinta.

Kalaupun engkau bekerja di institusi negara atau pemerintahan, itu tak sungguh-sungguh untuk bangsa dan negara melainkan untuk kemapanan diri dan jaminan masa depan anak-cucumu kelak, bukan?

Maka, terpaksa kita harus akui bahwa semua itu terjadi atas dasar cinta, bukan negara, bukan karena motivasi yang muluk-muluk dan belibet tentang rakyat, negara, nusa, bangsa, dan blablabla lainnya. Semua itu karena cinta. Cinta!
Share:

Senin, 28 Agustus 2017

Jumat, 25 Agustus 2017

Rakyat Terus yang Menjadi Korban

Yang menyedihkan dari kehidupan bernegara adalah rakyatnya. Sebab mereka tak pernah diperjuangkan nasib hidupnya oleh pejabat, penguasa, dan politisi-politisinya namun dipaksa-diseret menanggung beban permasalahan demi permasalahan yang sesungguhnya tidak mereka mengerti dan pahami.

Rakyat dimanipulasi kesadarannya untuk meyakini bahwa perubahan itu datang dari satu dua orang penguasa. Mereka lupa bahwa pergantian penguasa itu hanya soal pergantian wajah dan corak kekuasaan saja tetapi outputnya sama: rakyat terus yang menjadi korban.
Share:

Politisi adalah Penipu yang Dilegitimasi Negara

Politisi tak pernah membahas dan menyelesaikan masalah rakyat. Mereka cuma mengurus kepentingannya masing-masing. Rakyat hanya sekadar statistik penunjang legitimasi; hanya alat untuk mewujudkan kepentingan kekuasaan. Sejatinya bagi politisi, rakyat bukanlah subjek yang harus diperjuangkan melainkan objek untuk mencapai kekuasaan.

Politisi adalah penipu yang dilegitimasi negara. Memercayai omongan mereka sama dengan menuruti hasutan setan. 
Share:

Cinta Tak Bisa Direncanakan

Menikah itu tidak ada teorinya, maka itu, takkan kau dapati di universitas atau sekolah tinggi manapun. Menikah itu praktik langsung di atas kenyataan. Sedangkan mencintai bukanlah tentang teori atau praktik. Mencintai itu tanpa kata-kata dan tak perlu banyak gaya. Ia soal kemisteriusan rasa. Rassaaa!

Selain itu, menikah dan mencintai tak selamanya harus berbarengan-beriringan. Orang yang menikah belum tentu saling cinta. Dan orang yang saling mencintai pun tak semuanya (bisa) menikah. Mengutip kalimat “franchise” Sujiwo Tejo: “Menikah itu nasib, mencintai itu takdir. Kamu bisa berencana menikahi siapa, tapi tak dapat kau rencanakan cintamu untuk siapa.”




Share:

Dikecewakan Harapan Sendiri

Jika kau tak mengharapkan apa-apa dari siapa pun, kau takkan pernah kecewa." (Sylvia Plath)
Harapan adalah sebab orang bertahan hidup. Tapi memperbanyak harapan sama dengan memperbesar kemungkinan dikecewakan. Maka itu, berhati-hatilah terhadap apa dan siapa yang dijadikan harapan. Karena dari sanalah bermunculan benih-benih kehamilan kekecewaan.

Tak usah muluk-muluk, oleh suami/istri sendiri saja kita bisa dikecewakan, apalagi oleh pejabat negara dan politisi yang kita tahu hanya lewat media (koran, daring, televisi) yang jelas-jelas tak kita kenal kepribadiannya itu?
Share:

Adakah Teori Mencintai?

Pendidikan paling penting yang harus ditanamkan sejak dini itu bukan pendidikan agama, politik, kewarganegaraan, dll., tapi yang utama adalah pendidikan mencintai. Agar kelak bila menjadi pendakwah, pengacara, developer, dokter, polisi, tentara, dll., dll., dasarnya adalah mencintai.

Tapi, apakah ada teori mencintai?
Share:

Selasa, 18 Juli 2017

Ciptakan Bahagiamu tanpa Tergantung pada Negara

Jika ada orang yang terlalu serius membicarakan masalah negara, padahal negara tak sedikit pun membicarakan dirinya maka si orang tadi adalah tergolong orang-orang yang menyedihkan dan tentunya: merugi. Sesekali orang-orang yang demikian itu perlu meresapi sajak “Sukmaku Merdeka”-nya Wiji Thukul.

Bahwa kita mesti optimistis. Kita mesti yakin dan punya prinsip bahwa penentu nasib hidup kita adalah kita sendiri, bukan presiden, anggota dewan, hakim, dan lain-lain yang kini martabat dan harga dirinya bisa dibeli itu. Bagi saya pribadi—meyepakati Pramoedya Ananta Toer—menggantungkan nasib hidup kepada orang lain adalah kehinaan. Sebab kekecewaan selalu lahir dari rasa ketidakpercayaan kita pada diri sendiri. Sebagaimana yang pernah dikatakan Sylvia Plath: “Jika kau tidak mengharapkan apa-apa dari siapapun, kau tidak akan pernah kecewa.”

Puji syukur. Sampai hari ini saya tidak berharap apa-apa dari negara. Maka bilamana negara (melalui aparatur pemerintahannya) membuat sebuah aturan, kebijakan, atau policy yang dinilai publik tidak masuk akal dan tidak sesuai dengan nurani kemanusiaan maka saya akan tetap biasa-biasa saja; tidak akan merasa kecewa, marah, stres, apalagi sampai memberontak dan melakukan makar. Tidak. Tidak akan.

Saya hanya sedih, mengapa di tengah zaman yang semakin canggih dan informasinya semakin terbuka seperti ini masih saja ada orang yang menggantungkan nasibnya pada negara. Saya teringat perkataan Leo Tolstoy, “Seorang Kristen harus memeriksa hatinya sendiri untuk menentukan kebahagiaan, ketimbang memandang keluar kepada gereja atau negara.”

Perkataan Leo Tolstoy jika dikontekstualisasi dengan kondisi faktual kita, kiranya tak hanya seorang Kristen, tetapi juga seorang Hindu, Buddhis, Yahudi, Muslim, Konghucu, dan lain-lain perlu membuka mata hatinya agar jangan terlalu terpaku dalam mencari kebahagiaan pada rumah-rumah peribadatan atau gedung-gedung negara dan pemerintahan, tetapi ciptakanlah sendiri: temukan kebahagiaan dan kesejatian hidup itu di dalam diri kita sendiri.
Share:

Negara dalam Zaman Posmodern

Secara nilai, negara dalam zaman posmodern ini tak lebih dari sekadar perusahaan penyedia barang dan jasa yang visi utamanya adalah menimbun laba. Selain itu, ia cuma menjadi panggung hiburan malam yang memfasilitasi setiap orang untuk bertransaksi tanda dan kuasa, sisanya adalah pameran citra dan gaya—yang menjurus pada rasa (setiap orang) untuk diakui dan dihormati.

Secara esensi, negara tetap memberlakukan hukum rimba, namun bukan dengan cara adu kekuatan secara fisik melainkan dengan mengadu orang untuk merasa paling superior sendiri. Alih-alih dipertemukan lewat media sosial dan jagad maya, orang-orang justru menjadi lebih-diri-sendiri; individualistik, narsistik, dan lebih jauh lagi: psikopatik!
Share:

Barisan Nisan Keyakinan

Masih yakin terhadap negara? Ah, terhadap keyakinan saja kita sudah tak yakin, apalagi terhadap negara?

Sudahlah. Kalau kita punya niat baik terhadap bangsa, negara, manusia, umat, masa depan, dan lain-lain, lebih baik langsung saja niat itu diwujudkan dalam bentuk (praksis) nyata dengan cara berbuat baik kepada sesama, berlaku adil kepada keluarga, bersikap pengasih dan penyayang, menjalankan program-program yang bisa memakmurkan desa masing-masing, dan sebagainya, dan seterusnya, dengan tekun melakukan hal-hal baik nun penuh cinta tanpa menunggu “negara turun tangan”.

Toh, kalau energi-energi baik dari dalam diri kita sudah kita curahkan, dampak-dampaknya akan terasa dan terlihat juga, entah cepat atau lambat, hukum sebab-akibat itu pasti bekerja. Intinya, semakin besar energi positif yang kita jalarkan, semakin besar perubahan yang akan terwujudkan. (Yakinlah pada law of attraction! Hehehe...) Di dunia ini tidak ada yang tidak mungkin. Maka yang kita bisa perjuangankan adalah memperbesar kemungkinan pada ruang ketidakmungkinan agar setiap orang tak menemukan lagi satu pun sudut kemungkinan untuk berkata tidak mungkin. Tapi kemungkinan apa? Ya kemungkinan-kemungkinan kudus dan cita-cita suci yang ada dalam diri kita-lah. Yang penting ingat. Tetap yakin dan terus yakin. 

Tapi, apa kita masih yakin pada keyakinan?
Share:

Rabu, 14 Juni 2017

Ambiguitas Isme-Isme Kesetaraan

Kalau semua manusia memang setara, kita yang meyakininya tinggal mempraktikkannya secara positif dan intensif. Tak perlu meng-counter kemapanan rezim patriarki atau feodalisme dengan pelbagai timbunan teori dan isme-isme yang justru malah menimbulkan resistensi dari kaum pendukung patriarki atau feodalisme atau apalah—tergantung kasus yang dihadapi di lapangan.

Meng-isme-kan diri, dalam banyak hal, justru melanggengkan perbedaan, dan akhirnya menampilkan ambiguitas yang ada pada dirinya, yaitu dengan menjadikan ketidaksetaraan itu terus berlangsung langgeng dan lestari.

Bagaimana mungkin kita memperjuangkan kesetaraan dengan cara-cara tidak setara—bahkan cenderung menonjolkan ego ismenya sendiri?
Share:

Minggu, 11 Juni 2017

Anomali Posmodern

Kita hidup di negeri yang jalanannya berlubang dan penuh gundukan di sana-sini, namun orang-orangnya mengidamkan punya ferrari dan lamborghini.

Ya beginilah gambaran masyarakat posmodern. Membangun jukstaposisi tetapi juga menyimpan anomali di dalam dirinya sendiri. Kita tak bisa menghindarinya, selain menikmatinya. 
Share:

Televisi sebagai Agen Ideologi

Masyarakat kita mayoritas pikirannya dibentuk oleh iklan, tapi merasa paling bebas dalam menentukan pilihan. Kita merasa seolah-olah punya kebebasan untuk memilih mau makan apa saja, padahal makanan yang kita pilih itu adalah selera pasar yang dibentuk oleh kekuatan industri.

Tak hanya soal selera makanan, tapi juga gaya hidup, fashion, tempat nongkrong, fetis, dan terutama: mindset. Sadar atau tidak, televisi adalah agen ideologi yang punya pengaruh besar dalam membentuk kepribadian manusia. Kalau tak percaya, silakan lihat anak-anak kecil zaman sekarang yang di rumahnya ada televisi, sebagian besar pasti menghafal Mars Perindo.
Share:

Masyarakat Posmodern Masyarakat Pemuja

Jangankan bersikap objektif, menjadi subjektif saja belum; kita saat ini sudah keburu jadi pengikut, lebih terangnya: pemuja!

Dan kau tahu, pemujaan adalah bentuk ketidak-bekerjaan nalar. Memuja berarti menegasi akal beserta seluruh perangkat kognitif di dalamnya. Kalau kita sudah menjadi pemuja, jangankan berpikir kritis dan mandiri; berpikir saja bisa dikatakan belum.

Beginilah gambaran masyarakat posmodern, terlalu mudah menjadi pemuja. Tapi penyebabnya apa, bisa kita bicarakan di lain kesempatan.
Share:

Senin, 29 Mei 2017

Setiap Orang adalah Marxis

Setiap orang adalah Marxis dalam bentuknya yang paling elementer. Sebab setiap orang pasti, sadar atau tidak disadari, menjadikan materi sebagai landasan berpikirnya. Perkara nantinya ia mendeklarasikan diri sebagai seorang idealis, rasionalis, atau apa pun—itu urusan belakangan. Yang jelas tanpa materi, mustahil muncul ide di dalam kepala. Bayangkan saja bagaimana kita bisa memunyai gagasan tentang manis kalau belum pernah merasakan gula atau madu?
Share:

Selasa, 23 Mei 2017

Hidup adalah Simulasi Bunuh Diri

Manusia bisa hidup tanpa pengetahuan, tapi tak bisa hidup tanpa keyakinan. Sebab yang membuat seseorang bertahan hidup adalah keyakinannya terhadap hidup itu sendiri. Tanpa itu, ia mudah saja memutuskan bunuh diri. Meski dalam pemikiran filsafinya kita tahu: hidup adalah bagian dari simulasi bunuh diri pelan-pelan.
Share:

KH. Marx

Marx itu nama lengkapnya adalah Karl Heinrich Marx, kalau dia orang Indonesia akan disingkat menjadi K. H. Marx atau KH. Marx. Maka kalau saja Marx adalah orang Indonesia, kita bisa membayangkan bahwa Marx takkan dibenci secara berlebihan seperti sekarang ini. Karena "KH" di sini pada umumnya disingkat dari "Kiyai Haji".
Share:

Rabu, 29 Maret 2017

Materialisasi Surga

Yang beragama atas dasar reward-punishment (surga-neraka) itu sebenarnya cara berpikirnya materialistik juga. Kesannya saja yang ukhrawi, tapi dalam pembayangannya ya materi juga.

Jadi pada dasarnya, baik orang yang taat beragama maupun yang tidak, landasan berpikirnya adalah materialisme; bedanya orang yang taat beragama-atas-dasar-surga-dan-neraka adalah materialismenya (sudah) diruhanikan menjadi sesuatu yang agung dan ilahiah. Tapi intinya tetap saja, dalam pikirannya, surga digambarkan dalam bentuk-bentuk yang duniawi (materialistik) semisal berupa istana-istana dari emas dan perak, bidadari-bidadari, buah-buahan, sungai-sungai, taman-taman indah, pepohonan rimbun nan permai, dan berbagai macam kenikmatan lainnya yang rujukan pembayangannya bersifat materialistik juga.
Share:

Kamis, 16 Maret 2017

Indonesia dalam Sudut Pandang Psikologi

Jika dipandang dari sudut psikologi, Indonesia tergolong dalam makhluk (manusia berkarakter) introvert, ia lebih cenderung ke dalam, lebih melihat diri sendiri, ekslusif, dan sangat tertutup, maksudnya menutup diri dari kehidupan luar.

Itulah sebab mengapa di saat Amerika, Cina, Rusia, Iran, dll. sedang berlomba-lomba ke luar angkasa, menjelajah antariksa, mencari kehidupan lain di luar bumi, hingga berniat tinggal di planet lain; Indonesia masih saja berkutat pada kontradiksi dalam dirinya sendiri dengan sibuk memeriksa isi celana dalam siswi SD, SMP, SMA dan institusi-institusi tertentu lainnya sebagai syarat kelulusan.

Kata Rocky Gerung, “Ajaib!”
Share:

Rabu, 15 Maret 2017

Senin, 13 Maret 2017

Sekali Lagi, Yang Dibutuhkan Rakyat itu Makanan bukan Janji Palsu

Telah sering saya katakan, bahkan mungkin sudah membosankan, bahwa negara hanya ada bagi orang yang perutnya kenyang. Sedang bagi orang lapar, negara itu tidak ada. Sebab kalau saja anggota DPR yang mengklaim dirinya sebagai wakil rakyat itu sedikit saja (ingat, sedikit saja) mau menyempatkan waktu merasakan lapar—dan merasakan penderitaan-penderitaan rakyat lainnya yang hidupnya di bantaran sungai, di gerobak-gerobak sampah, di kolong-kolong jembatan, di gang-gang berbau pesing yang terhampar di seantero kota itu maka niscaya akan mereka sadari bahwa hal paling utama—yang menjadi kebutuhan manusia di setiap negara maupun di seluruh bumi adalah makanan.

Bahwa ketika seseorang lapar, yang ia pikirkan paling pertama adalah makan. Bukan omong kosong tentang pemilu, pilkada, program kartu sehat, kartu pintar, kartu ini dan itu, dan sebagainya, dan seterusnya, dan semua takhayul tentang negara!
Share:

Minggu, 12 Maret 2017

Fakta Filosofis: Koruptor adalah Orang yang Paling Miskin

Orang lebih memilih tambah gaji ketimbang tambah nasi. Padahal dari gaji yang bertambah itulah orang cenderung menimbun nafsu dan keinginan yang kelak menjadi racun bagi dirinya.

Memang apa pun termasuk nasi akan berbahaya kalau dikonsumsi secara berlebihan. Maka yang paling penting adalah keseimbangan; proporsionalitas; kemampuan menyeimbangkan apa yang masuk dan keluar secara sehat dan tepat. Sebab pemasukan yang besar tak ada nilainya jika tak dibarengi dengan kepandaian mengelola pengeluaran. 

Fakta filosofisnya, orang yang disebut miskin sesungguhnya adalah orang yang selalu merasa kurang. Dan orang yang paling miskin di antara orang-orang miskin adalah mereka yang gajinya (pemasukannya) jauh--dan sangat jauh--di atas orang rata-rata namun masih melakukan korupsi.
Share:

Ambiguitas "Rakyat Mandiri"

Kadang saya berpikir, sukses dan gagalnya suatu negara bukan ditentukan oleh keuletan negara dalam memajukan rakyatnya, tetapi berdasarkan sikap rakyat terhadap negaranya sendiri.

Bahwa mungkin dengan semakin rakyat menjadi mandiri dan tidak menggantungkan nasib hidupnya pada negara maka semakin sukseslah negara itu. Tapi bila dengan adanya negara "rakyat justru menjadi mandiri dan tidak menggantungkan nasib hidupnya pada negara" maka untuk apa negara diadakan? Saya pikir itu justru menyalahi tujuan dasar dibuatnya negara. Saya pikir, negara justru malah beralih fungsi menjadi sebuah lembaga pembangun tatanan anarkisme, yaitu menjadikan rakyat mandiri, merdeka, dan bebas menentukan nasib hidupnya sendiri-sendiri. 
Share:

Sabtu, 11 Maret 2017

Bentuk Kepala Bisa Sama, Tapi Isi Kepala Selalu Beda

Agama itu urusan batin manusia. Maka pemaknaan tentangnya selalu memunyai berbagai pandangan dan penyikapan. Karena kondisi psikis setiap manusia tidak sama; karena pengalaman, pengetahuan, pergaulan, dan kebudayaan keluarga-lingkungan setiap orang berbeda-beda, sehingga cara beragama setiap orang dalam laku sosial keseharian pun beragam dan berbeda-beda.

Maka jangankan kepada yang berbeda agama, kepada yang sesama pemeluk agama saja pasti ada perbedaan pandangan terhadap agamanya. Dengan demikian, memaksakan keseragaman dalam hal beribadah, berpenampilan, berpakaian, apalagi sampai ke soal perwujudan cinta kasih seorang hamba kepada Tuhannya itu adalah pekerjaan yang konyol. Sebab bentuk kepala manusia bisa sama, tapi isi kepala (pikiran) manusia semuanya beda.
Share:

Determinisme

Tak ada peristiwa-peristiwa besar yang sekonyong-konyong terjadi tanpa rentetan peristiwa-peristiwa kecil sebagai penyebabnya. Semua peristiwa besar adalah akumulasi dari peristiwa-peristiwa kecil yang terjadi sebelumnya. Peristiwa sekecil apa pun semua memiliki peranan penting atas kenyataan yang ada di hari ini. Dan apa pun yang terjadi hari ini, sekecil apa pun peristiwa itu, semua adalah causa material bagi keniscayaan di hari esok.
Share:

Supremasi Politik

Hukum sebagai panglima itu cuma hidup dalam forum diskusi. De facto, politiklah yang membidani setiap lahirnya undang-undang, regulasi, policy, dan arah kerja institusi. Makanya kenapa orang hanya menulis buku tentang teori hukum, bukan buku tentang (yang berdasarkan) praktik hukum.

Kenapa? Karena praktik hukum di negara ini amburadul, tak sesuai teori blas. Maka istilah Supremasi Hukum itu ilusi. Nyatanya tak ada. Yang ada adalah Supremasi Politik.
Share:

Jumat, 10 Maret 2017

Negara Sebagai Kamp Pembantaian Akal Sehat

Idealnya, negara dibuat untuk menjaga daulat manusia yang notabene adalah hakikat ciptaan Tuhan.

Namun karena hasrat berkuasa yang terlalu keparat dan nafsu ingin menguasai yang luar biasa kuat, maka negara kemudian dijadikan sebagai kamp pembantaian akal sehat dan pengebirian nilai-nilai kemanusiaan hingga mencapai titiknya yang paling sekarat.
Share:

Perayaan Penipuan Atas Nama

Memang benar perkataan Leo Tolstoy bahwa negara adalah perampokan yang terorganisir. Lebih parahnya lagi, mereka merampok dengan cara merayakan penipuan atas nama.

Bisa kita saksikan sendiri: semakin negara, bangsa, rakyat diatasnamakan, semakin kedaulatan diteriakkan, di saat yang sama semakin korupsi disemarakkan, semakin kemiskinan dikembang-biakkan.
Share:

Kamis, 09 Maret 2017

Ucapan yang Hanya Bertujuan Pada Kekuasaan

Sebaik dan semanis apa pun sebuah perkataan, selama ia lahir dari mulut politikus, birokrat, pemerintah, anggota DPR, dan lain sebagainya, maka ragukanlah, jangan langsung dipercaya perkataan tersebut. Sebab ada muatan kekuasaan yang sangat besar di dalamnya: kekuasaan yang apabila ia dapatkan, kita (rakyat) dilupakan.

Setiap ucapan mereka-mereka yang disebut di atas itu hampir 99% mengandung dusta.
Share:

Rabu, 08 Maret 2017

Negara Cuma Milik Kaum Mapan

Negara adalah representasi dari kaum mapan. Maka citra negara adalah citranya kaum mapan. Tak peduli rakyat kecil (semakin bertambah yang) menjerit lapar dan mati terkapar. Negara akan tetap disebut sejahtera, negara akan selalu dikatakan merdeka, selama kaum mapannya sejahtera dan merdeka.
Share:

Senin, 06 Maret 2017

Memperjuangkan Keadilan adalah Bagian dari Komunisme

Berpihak pada kemanusiaan itu bagian dari komunisme. Memperjuangkan keadilan itu bagian dari komunisme. Keadilan sosial itu cita-cita tertinggi komunisme. Maka komunisme itu untuk dipelajari, didalami, dan diamali, kalau ada yang keliru dan kurang sesuai dengan realitas sosial teritorialmu maka dievaluasi, direvisi, dan diperfeksi. Bukan justru tanpa dasar pengetahuan apa-apa langsung memusuhi, menganti-anti, dan mencaci-maki.

Belajar itu mengutamakan otak, bukan otot. Bahkan bagi olahragawan sekalipun. Sebab belajar itu untuk mengetahui mana benar dan salah, mana tepat dan keliru, setelah itu baru otot menyesuaikan kemudian. 

Sudahkah anda minum otak hari ini?
Share:

Minggu, 05 Maret 2017

Hanya Orang Tolol yang Mengharamkan Filsafat

Filsafat bukanlah sesuatu yang berada di luar diri manusia, melainkan sesuatu yang terkandung secara alamiah berdasarkan gen, kebudayaan, sejarah, lingkungan-pergaulan, dan pendidikan yang kita peroleh. Maka tanpa disadari cara berpikir manusia tergantung dari filsafat yang ia anut. 

Dengan demikian, hanya orang tolol saja yang mengharamkan filsafat. Karena dengan memelajari filsafatlah pandangan kita terhadap dunia menjadi lebih baik, minimal lebih dewasa. Sebab selain untuk mempertanyakan kembali segala hal yang sudah mapan, tujuan dari kelahiran filsafat adalah untuk mengevaluasi dan mematangkan pandangan kita terhadap kehidupan. 
Share:

Sabtu, 04 Maret 2017

Tentang Sebuah Tulisan Bagus

Tulisan bagus itu tidak tergantung pada panjang atau pendeknya tulisan, melainkan pada bobot dan kekuatan ide yang terkandung di dalamnya. Tulisan bagus juga tidak mesti dipenuhi oleh kutipan-kutipan dari berbagai buku. Kebanyakan kutipan dari berbagai buku--apalagi yang menggunakan bahasa-bahasa asing--justru membuat pembaca cepat jenuh.

Tulisan bagus itu tulisan yang menggugah kesadaran baru bagi pembacanya. Menawarkan sudut pandang dan cara berpikir yang beda dari umumnya. Dan yang paling utama: tema yang dituliskan berkaitan erat dengan persoalan-persoalan konkret manusia sehari-hari. Cinta, rindu, cara mudah menghasilkan duit, cara mudah dapat kerja, cara ampuh melupakan mantan, dan sebagainya, dan seterusnya. Itulah tema-tema yang digandrungi masyarakat kita.
Share:

Menjumpai Tuhan lewat Imajinasi

Tuhan itu tidak terbatas. Imajinasi pun tidak terbatas. Maka, jika kau ingin menjumpai Tuhan, berimajinasilah! Sebagaimana kata Albert Einstein, "Imajinasi lebih penting daripada pengetahuan." 

Namun apabila dengan imajinasi pun belum kau temukan Tuhan, maka matilah! Mungkin dengan mati, segala yang belum kau jumpai bisa kau kau jumpai. (Minimal bisa kau jumpai bagaimana tanah menyapamu dan mengembalikanmu padanya.)
Share:

Jumat, 03 Maret 2017

Bahasa Perasaan

Bahasa itu memiliki aturannya sendiri, tergantung di mana dan kepada siapa kita menggunakannya. Kalau di Perancis, agar pesan kita dipahami, kita harus bisa menggunakan bahasa Perancis. Kalau kepada kaum difabel, kita harus menggunakan bahasa isyarat sesuai aturan yang mereka pahami agar maksud pesan yang kita maksudkan tersampaikan.

Tapi dari semua jenis bahasa yang ada, ada satu bahasa yang paling mudah dimengerti, yaitu bahasa perasaan. Dengan bahasa perasaan inilah bahasa (percakapan, kata-kata, atau isyarat) yang kita gunakan di mana-mana dan kepada siapa pun lebih terbantu untuk dipahami.

Bahasa perasaan berarti bahasa kejujuran dan ketulusan. Percayalah, dengan bahasa inilah timbul cinta dan kasih-sayang tanpa mengenal suku, agama, ras, dan antar-golongan.
Share:

Ketika Maksud Diketahui, Kata-Kata Tak Dibutuhkan Lagi 2

Kata-kata itu cuma salah satu komponen dari bahasa. Dan bahasa itu, secara sederhana, adalah media untuk menyampaikan maksud dari subjek komunikator kepada komunikannya. Maka yang terpenting dari bahasa bukanlah kata-katanya, melainkan maksudnya. Kalau kita sudah memahami maksud, kata-kata tak dibutuhkan lagi. 
Share:

Ketika Maksud Diketahui, Kata-Kata Tak Dibutuhkan Lagi

Jangan terlalu menghamba pada kata-kata sebab tak semua hal bisa dijelaskan oleh kata-kata. Bahkan setiap kata pun memiliki lebih dari satu makna di dalam dirinya sendiri. 

Maka jika ada orang-orang yang berdebat, bahkan bertikai, tentang sebuah kata-kata berikut maknanya, kita tak perlu ikut-ikutan terlibat di dalamnya. Cukup pahami konteks saat perkataan itu dibuat dan yang paling penting: ketahui, minimal mendekati, maksud dari si pengata tersebut. Sebab jika kita mengetahui maksud si pengata maka kata-katanya sudah tak dibutuhkan lagi.
Share:

Berciuman Lebih Baik Dibanding Bermusuhan

Lebih baik bertukar ciuman daripada bertukar kebencian. Yang pertama melahirkan kemesraan, yang lainnya mempertajam kesenjangan.

Tidak ada gunanya bermusuhan. Memusuhi hanya membuatmu mudah emosi dan cenderung merasa sepi dan sendiri. Tak ada ketentraman di dalam permusuhan. Batin dan pikiran rusak, mudah sakit, mudah marah, rentan stress, dan lain-lain. 

Yang jelas: dimusuhi itu pasti. Memusuhi itu pilihan. Marah dan benci itu reaksi alami. Memarahi dan membenci itu soal menyikapi. Maka berhentilah membenci dan memusuhi, lebih baik berciuman dengan kekasih.
Share:

Penyair adalah Nabi

"Aku ingin menikmati kepedihan ini, dengan cara paling rahasia, yang airmata pun tak akan pernah bisa merasakan kesakitannya."

Membaca larik sajak @Bemz_Q di atas membuat saya semakin yakin bahwa penyair adalah nabi. Wabil khusus terhadap sajak di atas, sungguh membawa pembayangan saya pada perjuangan para nabi yang penuh kesakitan dan kepedihan yang teramat dalam, kepedihan ... yang airmata pun tak akan pernah merasakan sakitnya. 

Mungkin bisa dikata, penyair adalah penyair dan nabi tetaplah nabi. Tapi di dalam penghayatannya terhadap perasaan dan kehidupan, penyair dan nabi tak ada beda. Sama-sama menyimpan rahasia yang bahkan dirinya sendiri pun tak mengetahuinya. "Karena cinta telah sembunyikan pisaunya," demikianlah kata penyair Rendra.
Share:

Haji Selfie

Di Mekah dan Madinah, frekuensi selfie lebih tinggi daripada haji. Ruang komunikasi manusia dengan Tuhan dipangkas oleh "bagikan". 

Alih-alih berhaji, mereka justru jadi manusia mubazir. Ibadah bukan lagi sebagai kebutuhan ruhani tetapi sebagai pemuas gengsi dan kelas diri. Rasa-rasanya momen peribadatannya tak sempurna kalau tak diabadikan dan dibagikan ke khalayak ramai. Padahal publik sebenarnya tidak perlu-perlu amat dengan aktivitas mereka.

Sehingga yang ada: narsisme dibungkus dalam bentuk religius. Sekaligus penyakit jiwa narsisnya dispiritualisasi sebagai rukun tertinggi, yang paling ilahi. Ibadah sebagai perjalanan sunyi berubah menjadi fenomena haha-hihi.
Share:

Seonggok Jagung

Mengerti kehidupan tak perlu sekolah tinggi-tinggi. Yang penting menghayati setiap persoalan dan mengetahui kebutuhan masyarakat.

Percuma sekolah tinggi-tinggi--jauh-jauh sampai ke luar negeri--kalau tak menyatu di dalam pergaulan masyarakat dan kehidupan. Sebab, meminjam larik sajak Rendra, "Apakah gunanya seseorang belajar filsafat, teknologi, ilmu kedokteran, atau apa saja [jika] ketika ia pulang ke daerahnya, lalu berkata: 'disini aku merasa asing dan sepi.'”
Share:

Sabtu, 18 Februari 2017

Anarkisme Ali bin Abi Thalib

"Aku sudah pernah merasakan semua kepahitan dalam hidup, dan yang paling pahit ialah berharap kepada manusia." (Ali bin Abi Thalib)

Kalimat di atas itu banyak dikutip di media sosial dan berbagai forum-forum akademis dan keagamaan. Tapi anehnya, mereka tak mampu membaca gejolak anarkisme yang terkandung di dalam kalimat itu. Faktanya, mereka masih saja berharap perubahan dan masih saja mau menggantungkan nasib hidupnya kepada presiden, DPR, gubernur, walikota, bupati, dan pejabat publik lainnya.

Pertanyaannya, apakah saya yang salah membaca makna atau mereka yang terlalu bermuka dua?
Share:

Selasa, 07 Februari 2017

Minggu, 08 Januari 2017

Membersihkan Toilet Jiwa

Membersihkan toilet mungkin dianggap oleh banyak orang sebagai pekerjaan sepele dan tak terlalu penting. Tapi kalau saja kita mau melakukannya maka niscaya kita bisa merasakan banyak manfaat dari pekerjaan tersebut. Selain menciptakan kebersihan, membersihkan toilet juga membuat pikiran dan perasaan kita menjadi tenang dan nyaman.

Silakan dicoba, dan kau akan mengamini pernyataanku bahwa membersihkan toilet berbanding lurus dengan membersihkan pikiran dan perasaan kita sendiri.

Share:

Penistaan Kebersihan

Kalau di fasilitas-fasilitas umum, khususnya toilet, masih sering kita jumpai kalimat himbauan semacam "mohon kebersihan bisa terjaga", "habis kencing tolong disiram", atau kalau yang paling umum sering kita jumpai di mana-mana: "buanglah sampah pada tempatnya", maka itu mengisyaratkan bahwa pada dasarnya masyarakat kita itu jorok dan cenderung tak sadar diri. 

Mestinya pihak-pihak yang menulis himbauan seperti itu kita demo (dan biar perlu kita boikot) karena secara logika, mereka telah melecehkan kemanusiaan kita dengan secara implisit menyebut bahwa kita adalah orang-orang kotor dan doyan jorok--yang tak tahu kebersihan sehingga perlu diperingatkan (lewat himbauan) secara terus-menerus.

Tapi sebelum kita jalankan aksi demo, perlu kita tanyakan kembali kepada diri kita sendiri: Sudah benar-benar bersihkah diri kita hingga tak membutuhkan lagi kata-kata himbauan di mana-mana?
Share: