Sabtu, 11 November 2017

Masih Banyak Perasaan Yang Belum Ada Namanya

Seorang pecinta tak memberhalakan kamus bahasa. Karena ia sadar, tak semua perasaan bisa diwakilkan oleh kata. Singkatnya begini. Semua kata bisa dirasakan. Tapi semua rasa tak bisa dikatakan. Karena faktanya, dari pengalaman dan pergulatan kita di dalam kehidupan nyata, ada banyak perasaan dan kegetiran-kegetiran yang tidak tersedia padanan katanya di kamus bahasa, yang dalam hal ini secara resmi kita sebut sebagai Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Mungkin kita sudah atau belum pernah mengalaminya, tapi yang pasti kita akan melalui sebuah fase di mana kita akan bertanya, “Perasaan seperti ini namanya apa, ya?
Share:

Jumat, 10 November 2017

Tentang Ibadah 2

Fatalnya, orang yang rajin ibadah sembahyang atau salat rentan merasa diri lebih baik dibanding mereka yang tidak beribadah. Ini jelas cilaka yang terselubung. Sebab dengan merasa diri lebih baik dan lebih suci, mereka akan gampang menghakimi orang lain.

Padahal yang perlu kita sadari adalah bahwa ibadah itu kesunyian masing-masing. Sedangkan suci atau mulianya seseorang itu bukan ditentukan oleh sesama manusia, melainkan oleh Tuhan yang diimaninya. Meminjam amsal dari Emha Ainun Nadjib: Hanya wali guru yang layak menilai rapor murid-muridnya. Sesama orangtua murid tak berhak menilai rapor sesama murid. Artinya, sesama hamba tak pantas menghakimi sesama hamba, hanya Tuhan yang punya hak untuk memberi nilai kepada semua umatNya.
Share:

Tentang Ibadah 1

Kualitas ibadah seseorang itu terlihat dari setelah ibadah ia menjadi lebih baik atau tidak. Dan baik atau tidaknya seseorang itu yang utama dilihat dari perilaku (akhlak) sosialnya. Minimum ia tidak meresahkan dan menjadi ancaman bagi orang lain dan lingkungan sekitar.

Intinya, jangan menilai seseorang hanya karena dari ketaatan atau kerajinan ibadahnya belaka. Karena tak sedikit orang yang berperilaku bangsat adalah mereka yang rajin ibadah dan tak sedikit orang yang berbuat baik dengan tulus-ikhlas tanpa pamrih berasal dari orang yang tak beribadah ataupun tak beragama sebagaimana umumnya.
Share:

Agar tak Berpikir Dangkal, Setiap Orang Harus Radikal

Agar tak berpikir dangkal, setiap orang harus radikal. Tapi radikal yang saya maksud bukan radikal seperti yang dimaknai oleh media massa arus utama dan para cendekia yang bercucuk pada penguasa.

Radikal versi media massa arus utama dan barisan penguasa itu radikal yang sesat makna dan tak jelas sumber referensinya. Radikal itu ya berakar, berdasar, dan ada pertanggung-jawaban filosofis dan ideologisnya. Sebagaimana Bung Karno, Tan Malaka, dan lain-lain, radikalisme justru dianjurkan sebagai landasan pemikiran dan perbuatan. Sebab atas dasar radikalisme itulah para founding fathers kita berjuang memerdekakan bangsa Indonesia dari penjajahan.
Share:

Bahaya dan Yang Dibahaya-bahayakan

Memang betul, ada banyak hal yang berbahaya di dunia ini. Tapi jauh lebih banyak hal yang dibahaya-bahayakan. Jadi singkatnya, kita bisa membagi bahaya ke dalam dua jenis. Yang pertama, suatu hal yang berbahaya yang an sich memang berbahaya. Misalnya, bom, pistol, pornografi, dan sebagainya.

Sedangkan yang kedua, suatu hal yang dianggap bahaya atau dibahaya-bahayakan karena interpretasi pikiran dan ketakutan manusia. Misalnya, hantu, Marxisme, HTI, FPI, dan sebagainya.
Share:

Sabtu, 04 November 2017

Terorisme Pertanyaan "Kapan Nikah"

Tak usah mengintimidasi orang lain dengan pertanyaan norak macam "kapan nikah" atau "kapan wisuda" bila bukan kau yang membiayai kuliahnya atau bukan kau yang membiayai nikahnya berikut menyodorkan pasangan yang kelak akan menjadi suami atau istrinya.

Mungkin maksudmu melontarkan pertanyaan yang demikian itu tanpa intensi apa-apa alias hanya sebagai bahan bercandaan atau basa-basi belaka, tetapi kau tak memikirkan sejauh mana dampak dari pertanyaan itu. Sebab yang merasakannya adalah orang yang kau lempari pertanyaan tadi. Kau tidak mengerti akan tekanan, pukulan, dan ketakutan yang disebabkan oleh pertanyaan tersebut. Dan kalau sampai orang yang ditanyai tadi memutuskan bunuh diri dalam waktu dekat, maka kaulah orang yang pertama harus dipolisikan karena terindikasi telah melakukan tindakan teror.
Share:

Tak Ada yang Salah dengan Mengucapkan "Terima Kasih" Kepada Apa dan Siapa Saja

Tak ada yang salah dengan mengucapkan "terima kasih" kepada apa dan siapa saja. Karena segala yang membentuk diri kita hari ini tak terlepas dari apa dan siapa yang meliputi hidup kita. Bahwasanya, sadar atau tidak disadari. Tahu atau tidak diketahui. Kenal atau tidak dikenali. Semua yang ada di dunia ini memengaruhi pencapaian dan posisi kita hari ini.

Tapi tak masalah juga bila tak mengucapkan "terima kasih" kepada apa dan siapa saja. Apalagi kalau hidupmu selalu diliputi kesialan, nasibmu apes melulu, dan semua yang kau punya hari ini tak ada yang patut disyukuri dan dibanggakan sama sekali. Mesakno.


Share:

Semua Orang Sama Di Hadapan Hukum, Tapi Beda Di Atas Hukum

Tak ada negara yang betul-betul bisa demokratis, bahkan negara yang katanya menerapkan sistem hukum demokrasi sekalipun.

Setiap negara pasti punya watak otoritarianisme dan despotismenya dalam bentuknya masing-masing. Sebab para elit pemangku kekuasaan dan aparatur hukumnya adalah manusia juga--yang tentunya tidak bisa terbebas 100% dari interes ekopolitik pribadi.

Faktanya, hukum tak bisa berlaku adil pada semua orang. Pasti akan ada pihak yang diuntungkan dan dirugikan dari setiap keputusan hukum. Dan dalam hal ini, pihak yang diuntungkan dan menjadi pemenang atas hukum adalah para elit dan atau aparatur hukum itu sendiri.

Maka kalau ada yang hari-hari ini masih dengan naif memercayai jargon "equality before the law", katakan saja: Iya, semua orang sama di hadapan hukum, kecuali orang yang punya kekuasaan; mereka kedudukannya beda, bukan di hadapan, tapi di atas hukum.
Share:

Tak Perlu Bangga dengan Demokrasi karena Orang Amerika Sendiri Juga Menkritik Demokrasi

Tak perlu bangga dengan demokrasi. Sebab profesor linguistik Noam Chomsky, orang Yahudi yang hidup di Amerika Serikat sendiri mengatakan bahwa propaganda di negara demokrasi itu sama buruknya dengan teror pemerintah di negara diktator.

Bahkan lebih tegas, mantan menteri Amerika Serikat William Blum mengatakan bahwa demokrasi adalah ekspor paling mematikan dari Amerika Serikat.
Share:

Melihat Kenyataan Faktual dengan Teori Faktual

Kalau melihat suatu peristiwa atau fenomena, lihatlah ia sebagai kenyataan, bukan berdasarkan teori yang hanya menghasilkan pernyataan "harusnya begini ... harusnya begitu."

Memang, menganalisis suatu masalah dengan menggunakan teori itu baik. Tapi kalau ujung-ujungnya cuma memaksakan kenyataan yang ada untuk mengikuti teori maka, ya sudah, kita tak akan maju ke mana-mana alias akan terus-terusan bergelut di dalam masalah-masalah yang sama.

Mengkaji demokrasi, misalnya, kalau tak dipandang sebagai praksis, kita akan melulu menipu diri dengan teori-teorinya, yang kita tahu, pastinya semua bersifat baik-baik. Ya, pada dasarnya, tak hanya demokrasi, hampir segala hal di dunia ini kalau hanya kita tilik secara teori cenderung sifatnya baik. Politik itu baik, negara itu baik, hukum itu baik, korporasi itu baik, birokrasi itu baik, bahkan industri dan kapitalisme pun ada sisi baiknya secara teori. Tapi pertanyaannya, apakah kita (hanya) hidup di alam teori?

Tidak! Kita hidup di atas lapangan kenyataan. Maka alih-alih memaksakan kenyataan agar mengikuti teori lama yang sudah ada, buatlah teori baru berdasarkan praksis faktual yang tengah berlangsung. Agar bisa kita dapati fakta terbaru mengenai relevansi sebuah teori dengan praktik. Bisa saja besok-besok akan ada temuan baru, misalnya, setelah mengkaji problematika bernegara hari-hari ini maka lahir sebuah teori baru bahwa sesungguhnya negara sudah tak layak lagi untuk ada di kehidupan zaman kiwari. Atau ada teori baru lainnya yang mengatakan bahwa setiap politisi mesti dicambuk sampai mati.

Semua itu mungkin saja bila kita berani merumuskan teori baru berdasarkan kenyataan yang ada, bukan justru segala hal yang terjadi hari ini hanya dilihat dengan teori lama nan usang berikut kadaluwarsa dan pantas binasa itu.
Share:

Membaca Untuk Menjadi Diri Sendiri

Berilmu itu bukan soal membaca banyak buku, tapi membaca buku yang bermutu. Sebab buku tak ada habisnya, sedang waktu ada batasnya. Pertanyaannya, bagaimana cara mengetahui buku-buku yang bermutu? Jawabannya, ketahui buku-buku yang dibaca (lebih bagus lagi kalau langsung direkomendasikan) oleh penulis, pemikir, atau tokoh-tokoh hebat yang kita sukai.

Tapi paradoksnya, mengutip Haruki Murakami, "Jika kau membaca buku yang orang lain baca, kau akan berpikir sama seperti orang lain." Maka mau tidak mau, kita perlu membaca banyak buku, untuk menjadi otentik diri kita sendiri.

Jadi membacalah sebisa-bisanya dan sesuka-sukanya. Terutama membaca frasa yang tertera di pintu gerbang Kuil Apolo di Delphi yang berbunyi: "Gnōthi seauton." Yang artinya, kenali dirimu. Dengan mengenali diri sendiri-lah kita bisa menjadi diri sendiri.
Share:

Negara Namanya, Perusahaan Esensinya

Semakin hari, negara semakin menunjukkan dirinya sebagai bukan negara melainkan hanya sebagai organisasi yang dikelola oleh kaum komprador yang kerjanya adalah membuat undang-undang yang melegitimasi pasar bebas dan membuka pintu selebar-lebarnya kepada kapitalisme untuk menindas warga negaranya.

Negara hanyalah bentuk belaka. Tapi esensinya ia berfungsi tak lebih dari sebuah perusahaan. Warga negaranya hanyalah objek, statistik, dan mesin produksi yang tugasnya hanya memperkaya industrinya. Tak lain dan tak bukan semata-mata hanya untuk mendapat keuntungan golongan.
Share:

Jangan Berpihak pada Orang, Berpihaklah pada Nilai

Jangan berpihak pada orang. Tapi berpihaklah pada nilai. Karena orang bisa berubah pendirian sesuai kepentingan. Sedangkan nilai adalah akar fundamental yang memantapkanmu untuk menjadi seseorang yang tak bisa diombang-ambingkan oleh keadaan dan perubahan sikap orang-orangnya.

Keberpihakan pada nilai adalah keberpihakan pada ideologi dan visi-misi perjuangan serta penegasan keteguhan hati untuk menemukan yang sejati di dalam hidup ini. Tapi apa yang dimaksud dengan "yang sejati di dalam hidup ini"?

Entahlah. Setiap nilai yang dirumuskan oleh setiap orang tentunya berbeda-beda. Tapi yang pasti, sesuatu yang sejati itu bukan yang justru mengakibatkan orang lain menjadi terganggu, terancam, ketakutan, sakit hati, dan malah mati. Dalam Islam ia disebut sebagai rahmatan lil alamin. Ialah yang menjadi rahmat bagi seru sekalian alam.

Tapi. Entahlah.
Share:

Kutu Pengetahuan

Kutu itu punya kutu. Kutunya kutu punya kutu lagi. Kutu kutunya kutu punya kutunya lagi. Begitu seterusnya sampai kau mati kutu.

Singkat kata, saya mau bilang, tak usah kita terlalu mendewakan para ilmuwan. Mereka memang mengetahui banyak hal, tapi bukan segala hal. Apalagi mereka ilmuwan yang hidup di menara gading. Sebab, kehidupan yang dijalankan itu jauh lebih luas dibanding kehidupan yang dituliskan.

Bahwa sejatinya, hidup itu lebih banyak praktiknya ketimbang teorinya. Karena dari awal ia berlangsung, manusia menyandarkan pengetahuan dan pengalamannya berdasarkan praktik. Teori baru menyusul belakangan. Lagipula, di sesama kalangan ilmuwan saja banyak perbedaan pandangan dan benturan pengetahuan, kok. Jadi sekali lagi saya katakan, tak usah kita terlalu mendewakan mereka para ilmuwan itu dengan segala teori-teorinya.

Tapi, bukan berarti kita tak usah belajar teori juga, sebab kata K.H. Marx, “Ohne radikale theorie keine radikale bewegung.” Tanpa teori radikal mustahil ada praktik radikal. Artinya, teori itu penting untuk dijadikan sebagai pedoman berpikir yang baik dan benar. Teori itu sangat vital sebagai bahan dasar dalam memandang kehidupan.

Eh, tapi sekadar informasi saja, nih, "K.H." di atas itu singkatan dari "Karl Heinrich", ya ... tapi kalau mau diartikan sebagai "Kiai Haji" juga tak apa. Wong Setya Novanto saja bisa pakai nama "K.H.", kok. Entah maksudnya adalah "Kiai Haji" atau "Kebal Hukum" atau apa, entahlah, hanya Tuhan yang tahu.
Share: