Rabu, 29 Maret 2017

Materialisasi Surga

Yang beragama atas dasar reward-punishment (surga-neraka) itu sebenarnya cara berpikirnya materialistik juga. Kesannya saja yang ukhrawi, tapi dalam pembayangannya ya materi juga.

Jadi pada dasarnya, baik orang yang taat beragama maupun yang tidak, landasan berpikirnya adalah materialisme; bedanya orang yang taat beragama-atas-dasar-surga-dan-neraka adalah materialismenya (sudah) diruhanikan menjadi sesuatu yang agung dan ilahiah. Tapi intinya tetap saja, dalam pikirannya, surga digambarkan dalam bentuk-bentuk yang duniawi (materialistik) semisal berupa istana-istana dari emas dan perak, bidadari-bidadari, buah-buahan, sungai-sungai, taman-taman indah, pepohonan rimbun nan permai, dan berbagai macam kenikmatan lainnya yang rujukan pembayangannya bersifat materialistik juga.
Share:

Kamis, 16 Maret 2017

Indonesia dalam Sudut Pandang Psikologi

Jika dipandang dari sudut psikologi, Indonesia tergolong dalam makhluk (manusia berkarakter) introvert, ia lebih cenderung ke dalam, lebih melihat diri sendiri, ekslusif, dan sangat tertutup, maksudnya menutup diri dari kehidupan luar.

Itulah sebab mengapa di saat Amerika, Cina, Rusia, Iran, dll. sedang berlomba-lomba ke luar angkasa, menjelajah antariksa, mencari kehidupan lain di luar bumi, hingga berniat tinggal di planet lain; Indonesia masih saja berkutat pada kontradiksi dalam dirinya sendiri dengan sibuk memeriksa isi celana dalam siswi SD, SMP, SMA dan institusi-institusi tertentu lainnya sebagai syarat kelulusan.

Kata Rocky Gerung, “Ajaib!”
Share:

Rabu, 15 Maret 2017

Senin, 13 Maret 2017

Sekali Lagi, Yang Dibutuhkan Rakyat itu Makanan bukan Janji Palsu

Telah sering saya katakan, bahkan mungkin sudah membosankan, bahwa negara hanya ada bagi orang yang perutnya kenyang. Sedang bagi orang lapar, negara itu tidak ada. Sebab kalau saja anggota DPR yang mengklaim dirinya sebagai wakil rakyat itu sedikit saja (ingat, sedikit saja) mau menyempatkan waktu merasakan lapar—dan merasakan penderitaan-penderitaan rakyat lainnya yang hidupnya di bantaran sungai, di gerobak-gerobak sampah, di kolong-kolong jembatan, di gang-gang berbau pesing yang terhampar di seantero kota itu maka niscaya akan mereka sadari bahwa hal paling utama—yang menjadi kebutuhan manusia di setiap negara maupun di seluruh bumi adalah makanan.

Bahwa ketika seseorang lapar, yang ia pikirkan paling pertama adalah makan. Bukan omong kosong tentang pemilu, pilkada, program kartu sehat, kartu pintar, kartu ini dan itu, dan sebagainya, dan seterusnya, dan semua takhayul tentang negara!
Share:

Minggu, 12 Maret 2017

Fakta Filosofis: Koruptor adalah Orang yang Paling Miskin

Orang lebih memilih tambah gaji ketimbang tambah nasi. Padahal dari gaji yang bertambah itulah orang cenderung menimbun nafsu dan keinginan yang kelak menjadi racun bagi dirinya.

Memang apa pun termasuk nasi akan berbahaya kalau dikonsumsi secara berlebihan. Maka yang paling penting adalah keseimbangan; proporsionalitas; kemampuan menyeimbangkan apa yang masuk dan keluar secara sehat dan tepat. Sebab pemasukan yang besar tak ada nilainya jika tak dibarengi dengan kepandaian mengelola pengeluaran. 

Fakta filosofisnya, orang yang disebut miskin sesungguhnya adalah orang yang selalu merasa kurang. Dan orang yang paling miskin di antara orang-orang miskin adalah mereka yang gajinya (pemasukannya) jauh--dan sangat jauh--di atas orang rata-rata namun masih melakukan korupsi.
Share:

Ambiguitas "Rakyat Mandiri"

Kadang saya berpikir, sukses dan gagalnya suatu negara bukan ditentukan oleh keuletan negara dalam memajukan rakyatnya, tetapi berdasarkan sikap rakyat terhadap negaranya sendiri.

Bahwa mungkin dengan semakin rakyat menjadi mandiri dan tidak menggantungkan nasib hidupnya pada negara maka semakin sukseslah negara itu. Tapi bila dengan adanya negara "rakyat justru menjadi mandiri dan tidak menggantungkan nasib hidupnya pada negara" maka untuk apa negara diadakan? Saya pikir itu justru menyalahi tujuan dasar dibuatnya negara. Saya pikir, negara justru malah beralih fungsi menjadi sebuah lembaga pembangun tatanan anarkisme, yaitu menjadikan rakyat mandiri, merdeka, dan bebas menentukan nasib hidupnya sendiri-sendiri. 
Share:

Sabtu, 11 Maret 2017

Bentuk Kepala Bisa Sama, Tapi Isi Kepala Selalu Beda

Agama itu urusan batin manusia. Maka pemaknaan tentangnya selalu memunyai berbagai pandangan dan penyikapan. Karena kondisi psikis setiap manusia tidak sama; karena pengalaman, pengetahuan, pergaulan, dan kebudayaan keluarga-lingkungan setiap orang berbeda-beda, sehingga cara beragama setiap orang dalam laku sosial keseharian pun beragam dan berbeda-beda.

Maka jangankan kepada yang berbeda agama, kepada yang sesama pemeluk agama saja pasti ada perbedaan pandangan terhadap agamanya. Dengan demikian, memaksakan keseragaman dalam hal beribadah, berpenampilan, berpakaian, apalagi sampai ke soal perwujudan cinta kasih seorang hamba kepada Tuhannya itu adalah pekerjaan yang konyol. Sebab bentuk kepala manusia bisa sama, tapi isi kepala (pikiran) manusia semuanya beda.
Share:

Determinisme

Tak ada peristiwa-peristiwa besar yang sekonyong-konyong terjadi tanpa rentetan peristiwa-peristiwa kecil sebagai penyebabnya. Semua peristiwa besar adalah akumulasi dari peristiwa-peristiwa kecil yang terjadi sebelumnya. Peristiwa sekecil apa pun semua memiliki peranan penting atas kenyataan yang ada di hari ini. Dan apa pun yang terjadi hari ini, sekecil apa pun peristiwa itu, semua adalah causa material bagi keniscayaan di hari esok.
Share:

Supremasi Politik

Hukum sebagai panglima itu cuma hidup dalam forum diskusi. De facto, politiklah yang membidani setiap lahirnya undang-undang, regulasi, policy, dan arah kerja institusi. Makanya kenapa orang hanya menulis buku tentang teori hukum, bukan buku tentang (yang berdasarkan) praktik hukum.

Kenapa? Karena praktik hukum di negara ini amburadul, tak sesuai teori blas. Maka istilah Supremasi Hukum itu ilusi. Nyatanya tak ada. Yang ada adalah Supremasi Politik.
Share:

Jumat, 10 Maret 2017

Negara Sebagai Kamp Pembantaian Akal Sehat

Idealnya, negara dibuat untuk menjaga daulat manusia yang notabene adalah hakikat ciptaan Tuhan.

Namun karena hasrat berkuasa yang terlalu keparat dan nafsu ingin menguasai yang luar biasa kuat, maka negara kemudian dijadikan sebagai kamp pembantaian akal sehat dan pengebirian nilai-nilai kemanusiaan hingga mencapai titiknya yang paling sekarat.
Share:

Perayaan Penipuan Atas Nama

Memang benar perkataan Leo Tolstoy bahwa negara adalah perampokan yang terorganisir. Lebih parahnya lagi, mereka merampok dengan cara merayakan penipuan atas nama.

Bisa kita saksikan sendiri: semakin negara, bangsa, rakyat diatasnamakan, semakin kedaulatan diteriakkan, di saat yang sama semakin korupsi disemarakkan, semakin kemiskinan dikembang-biakkan.
Share:

Kamis, 09 Maret 2017

Ucapan yang Hanya Bertujuan Pada Kekuasaan

Sebaik dan semanis apa pun sebuah perkataan, selama ia lahir dari mulut politikus, birokrat, pemerintah, anggota DPR, dan lain sebagainya, maka ragukanlah, jangan langsung dipercaya perkataan tersebut. Sebab ada muatan kekuasaan yang sangat besar di dalamnya: kekuasaan yang apabila ia dapatkan, kita (rakyat) dilupakan.

Setiap ucapan mereka-mereka yang disebut di atas itu hampir 99% mengandung dusta.
Share:

Rabu, 08 Maret 2017

Negara Cuma Milik Kaum Mapan

Negara adalah representasi dari kaum mapan. Maka citra negara adalah citranya kaum mapan. Tak peduli rakyat kecil (semakin bertambah yang) menjerit lapar dan mati terkapar. Negara akan tetap disebut sejahtera, negara akan selalu dikatakan merdeka, selama kaum mapannya sejahtera dan merdeka.
Share:

Senin, 06 Maret 2017

Memperjuangkan Keadilan adalah Bagian dari Komunisme

Berpihak pada kemanusiaan itu bagian dari komunisme. Memperjuangkan keadilan itu bagian dari komunisme. Keadilan sosial itu cita-cita tertinggi komunisme. Maka komunisme itu untuk dipelajari, didalami, dan diamali, kalau ada yang keliru dan kurang sesuai dengan realitas sosial teritorialmu maka dievaluasi, direvisi, dan diperfeksi. Bukan justru tanpa dasar pengetahuan apa-apa langsung memusuhi, menganti-anti, dan mencaci-maki.

Belajar itu mengutamakan otak, bukan otot. Bahkan bagi olahragawan sekalipun. Sebab belajar itu untuk mengetahui mana benar dan salah, mana tepat dan keliru, setelah itu baru otot menyesuaikan kemudian. 

Sudahkah anda minum otak hari ini?
Share:

Minggu, 05 Maret 2017

Hanya Orang Tolol yang Mengharamkan Filsafat

Filsafat bukanlah sesuatu yang berada di luar diri manusia, melainkan sesuatu yang terkandung secara alamiah berdasarkan gen, kebudayaan, sejarah, lingkungan-pergaulan, dan pendidikan yang kita peroleh. Maka tanpa disadari cara berpikir manusia tergantung dari filsafat yang ia anut. 

Dengan demikian, hanya orang tolol saja yang mengharamkan filsafat. Karena dengan memelajari filsafatlah pandangan kita terhadap dunia menjadi lebih baik, minimal lebih dewasa. Sebab selain untuk mempertanyakan kembali segala hal yang sudah mapan, tujuan dari kelahiran filsafat adalah untuk mengevaluasi dan mematangkan pandangan kita terhadap kehidupan. 
Share:

Sabtu, 04 Maret 2017

Tentang Sebuah Tulisan Bagus

Tulisan bagus itu tidak tergantung pada panjang atau pendeknya tulisan, melainkan pada bobot dan kekuatan ide yang terkandung di dalamnya. Tulisan bagus juga tidak mesti dipenuhi oleh kutipan-kutipan dari berbagai buku. Kebanyakan kutipan dari berbagai buku--apalagi yang menggunakan bahasa-bahasa asing--justru membuat pembaca cepat jenuh.

Tulisan bagus itu tulisan yang menggugah kesadaran baru bagi pembacanya. Menawarkan sudut pandang dan cara berpikir yang beda dari umumnya. Dan yang paling utama: tema yang dituliskan berkaitan erat dengan persoalan-persoalan konkret manusia sehari-hari. Cinta, rindu, cara mudah menghasilkan duit, cara mudah dapat kerja, cara ampuh melupakan mantan, dan sebagainya, dan seterusnya. Itulah tema-tema yang digandrungi masyarakat kita.
Share:

Menjumpai Tuhan lewat Imajinasi

Tuhan itu tidak terbatas. Imajinasi pun tidak terbatas. Maka, jika kau ingin menjumpai Tuhan, berimajinasilah! Sebagaimana kata Albert Einstein, "Imajinasi lebih penting daripada pengetahuan." 

Namun apabila dengan imajinasi pun belum kau temukan Tuhan, maka matilah! Mungkin dengan mati, segala yang belum kau jumpai bisa kau kau jumpai. (Minimal bisa kau jumpai bagaimana tanah menyapamu dan mengembalikanmu padanya.)
Share:

Jumat, 03 Maret 2017

Bahasa Perasaan

Bahasa itu memiliki aturannya sendiri, tergantung di mana dan kepada siapa kita menggunakannya. Kalau di Perancis, agar pesan kita dipahami, kita harus bisa menggunakan bahasa Perancis. Kalau kepada kaum difabel, kita harus menggunakan bahasa isyarat sesuai aturan yang mereka pahami agar maksud pesan yang kita maksudkan tersampaikan.

Tapi dari semua jenis bahasa yang ada, ada satu bahasa yang paling mudah dimengerti, yaitu bahasa perasaan. Dengan bahasa perasaan inilah bahasa (percakapan, kata-kata, atau isyarat) yang kita gunakan di mana-mana dan kepada siapa pun lebih terbantu untuk dipahami.

Bahasa perasaan berarti bahasa kejujuran dan ketulusan. Percayalah, dengan bahasa inilah timbul cinta dan kasih-sayang tanpa mengenal suku, agama, ras, dan antar-golongan.
Share:

Ketika Maksud Diketahui, Kata-Kata Tak Dibutuhkan Lagi 2

Kata-kata itu cuma salah satu komponen dari bahasa. Dan bahasa itu, secara sederhana, adalah media untuk menyampaikan maksud dari subjek komunikator kepada komunikannya. Maka yang terpenting dari bahasa bukanlah kata-katanya, melainkan maksudnya. Kalau kita sudah memahami maksud, kata-kata tak dibutuhkan lagi. 
Share:

Ketika Maksud Diketahui, Kata-Kata Tak Dibutuhkan Lagi

Jangan terlalu menghamba pada kata-kata sebab tak semua hal bisa dijelaskan oleh kata-kata. Bahkan setiap kata pun memiliki lebih dari satu makna di dalam dirinya sendiri. 

Maka jika ada orang-orang yang berdebat, bahkan bertikai, tentang sebuah kata-kata berikut maknanya, kita tak perlu ikut-ikutan terlibat di dalamnya. Cukup pahami konteks saat perkataan itu dibuat dan yang paling penting: ketahui, minimal mendekati, maksud dari si pengata tersebut. Sebab jika kita mengetahui maksud si pengata maka kata-katanya sudah tak dibutuhkan lagi.
Share:

Berciuman Lebih Baik Dibanding Bermusuhan

Lebih baik bertukar ciuman daripada bertukar kebencian. Yang pertama melahirkan kemesraan, yang lainnya mempertajam kesenjangan.

Tidak ada gunanya bermusuhan. Memusuhi hanya membuatmu mudah emosi dan cenderung merasa sepi dan sendiri. Tak ada ketentraman di dalam permusuhan. Batin dan pikiran rusak, mudah sakit, mudah marah, rentan stress, dan lain-lain. 

Yang jelas: dimusuhi itu pasti. Memusuhi itu pilihan. Marah dan benci itu reaksi alami. Memarahi dan membenci itu soal menyikapi. Maka berhentilah membenci dan memusuhi, lebih baik berciuman dengan kekasih.
Share:

Penyair adalah Nabi

"Aku ingin menikmati kepedihan ini, dengan cara paling rahasia, yang airmata pun tak akan pernah bisa merasakan kesakitannya."

Membaca larik sajak @Bemz_Q di atas membuat saya semakin yakin bahwa penyair adalah nabi. Wabil khusus terhadap sajak di atas, sungguh membawa pembayangan saya pada perjuangan para nabi yang penuh kesakitan dan kepedihan yang teramat dalam, kepedihan ... yang airmata pun tak akan pernah merasakan sakitnya. 

Mungkin bisa dikata, penyair adalah penyair dan nabi tetaplah nabi. Tapi di dalam penghayatannya terhadap perasaan dan kehidupan, penyair dan nabi tak ada beda. Sama-sama menyimpan rahasia yang bahkan dirinya sendiri pun tak mengetahuinya. "Karena cinta telah sembunyikan pisaunya," demikianlah kata penyair Rendra.
Share:

Haji Selfie

Di Mekah dan Madinah, frekuensi selfie lebih tinggi daripada haji. Ruang komunikasi manusia dengan Tuhan dipangkas oleh "bagikan". 

Alih-alih berhaji, mereka justru jadi manusia mubazir. Ibadah bukan lagi sebagai kebutuhan ruhani tetapi sebagai pemuas gengsi dan kelas diri. Rasa-rasanya momen peribadatannya tak sempurna kalau tak diabadikan dan dibagikan ke khalayak ramai. Padahal publik sebenarnya tidak perlu-perlu amat dengan aktivitas mereka.

Sehingga yang ada: narsisme dibungkus dalam bentuk religius. Sekaligus penyakit jiwa narsisnya dispiritualisasi sebagai rukun tertinggi, yang paling ilahi. Ibadah sebagai perjalanan sunyi berubah menjadi fenomena haha-hihi.
Share:

Seonggok Jagung

Mengerti kehidupan tak perlu sekolah tinggi-tinggi. Yang penting menghayati setiap persoalan dan mengetahui kebutuhan masyarakat.

Percuma sekolah tinggi-tinggi--jauh-jauh sampai ke luar negeri--kalau tak menyatu di dalam pergaulan masyarakat dan kehidupan. Sebab, meminjam larik sajak Rendra, "Apakah gunanya seseorang belajar filsafat, teknologi, ilmu kedokteran, atau apa saja [jika] ketika ia pulang ke daerahnya, lalu berkata: 'disini aku merasa asing dan sepi.'”
Share: