Senin, 16 April 2018

Diperas Dulu Baru Menyuap


Biasanya sebelum menyuap, seseorang terlebih dahulu merasa diperas. Baik secara verbal maupun mental. Tapi umumnya itu tidak tersurat, tapi tersirat. Namun anehnya di dalam hukum negara kita aparat dan masyarakatnya lebih fokus menyoroti perbuatan menyuap, ketimbang perbuatan memeras. Kita bisa menjumpai itu langsung dalam praksis birokrasi kita. Apa-apa yang diperlambat dan diperumit itu secara implisit mendesak kita agar menempuh jalur alternatif: menyuap, menyogok, dan sebagainya.

Sederhana, sih. Kita takkan masuk rumah orang lewat pintu belakang bila pintu depannya tidak bermasalah. Kita takkan menyuap bila tak diperas terlebih dahulu.

Jadi, sampai di sini ada pertanyaan? Oke baik!

Share:

Jumat, 13 April 2018

Kemerdekaan 100% Tan Malaka

Soal kemerdekaan dan kedaulatan, di dalam Merdeka 100%, Tan Malaka berkata begini:

"Isi kemerdekaan itu ialah kedaulatan, dan kedaulatan itu ialah berupa kekuasaan dan kemakmuran. Pertanyaan tentang "siapakah atau golongan siapakah yang berdaulat pada suatu negara merdeka" mesti dilaksanakan atas pertanyaan "siapakah atau golongan manakah yang sebenarnya mencecap kemakmuran dalam negara itu". Dipandang dari penjuru ini maka "demokrasi" yang dibangga-banggakan negara kapitalis itu, kalau diteropong besarnya golongan atau kelas yang sebenarnya memegang kekuasaan dan merasakan kemakmuran itu tiadalah sepadan dengan namanya "kedaulatan rakyat". Yang benar berkuasa, makmur, dan tenteram kemakmurannya ialah kaum kapitalis, kaki tangannya akal kaum tengah dan sebagian kecil dari proletar atasan. Sebagian besar dari mereka yang tak berpunya itu diombang-ambingkan oleh krisis ekonomi dan peperangan imperialisme."
Share:

Kamis, 12 April 2018

Tuhan Macam Apa

Tak perlu menjadi cerdas-cerdas amat untuk berkata tidak pada mereka yang memuliakan Tuhan tapi menghinakan sesamanya. Kecuali bagi mereka, sesamanya itu diciptakan bukan dari Tuhannya.

Tapi Tuhan macam apa yang hanya menciptakan sebagian dan tidak menciptakan sebagaian lainnya?
Share:

Rabu, 11 April 2018

Negara Tak Tahu Diri

Kita hidup di negara yang rakyatnya tak disejahterakan tetapi malah dipaksa untuk ikut-ikutan pusing mengurusi ujaran kebencian, hoaks, pemblokiran situs, politik praktis, pemilu, dan soal-soal lain yang hampir semuanya berasal dari gesekan kepentingan para elitenya.
Share:

Selasa, 10 April 2018

Senin, 09 April 2018

Minggu, 08 April 2018

Sabtu, 07 April 2018

Jumat, 06 April 2018

Bukan Orang Baik, tapi Orang Gila

Orang baik itu orang yang dinilai oleh orang lain bahwa dirinya baik. Bukan ia sendiri yang menyebut dirinya baik berikut ia tuliskan di spanduk, baliho, dan stiker-stiker kemudian dipasang di mana-mana agar dilihat orang. Justru yang demikian itu bukanlah orang baik, tapi orang narsis; frutrasi. Lebih terang lagi, bisa disebut orang gila.
Share:

Ilmiah itu Penting, tapi Bukan Paling Penting

Ilmiah itu penting, tapi kalau segala hal harus ilmiah juga tak bagus. Jiwa menjadi kering dan gersang, karena menentang ketetapan alam, yaitu naluri estetis dan hasrat untuk mencari rasa asyik dengan menghibur diri sendiri--yang notabene kebanyakan tak bersifat ilmiah dan teoretis, melainkan imajinatif dan spekulatif.
Share:

Kamis, 05 April 2018

Benar-Salah tak Hitam-Putih

Benar-salah itu tak hitam-putih. Kehidupan itu tak hitam-putih. Bahkan hitam-putih secara harfiah sebagai warna pun tak benar-benar hanya hitam-putih. Selalu ada gradasi; ada warna lain di dalamnya. Itu kenyataan yang patut diakui. Agar dengan demikian diri kita menjadi lebih tenang, anteng, lapang, tak selalu tegang dan, tentunya, tak kaget-kagetan.
Share:

Rabu, 04 April 2018

Tak Ada Waktu

Kalau sedang sibuk, umumnya orang akan mengatakan: "Tak ada waktu." Namun sejatinya yang dia maksud bukanlah waktu benar-benar tidak ada, melainkan dialah yang tak bisa ada untuk suatu waktu yang tak sesuai dengan kepentingan dan kebutuhan aktualisasi dirinya.
Share:

Selasa, 03 April 2018

Dinamika Perubahan Pemikiran

Hidup itu sangat dinamis. Pemikiran dan pendirian seseorang hari ini bisa berubah sangat signifikan dibanding hari kemarin hanya karena ia telah menemukan suatu pengetahuan, dihantam oleh suatu kenyataan, atau karena telah terikat oleh suatu kepentingan ... atau bisa juga karena sebab-sebab lainnya.
Share:

Senin, 02 April 2018

Minggu, 01 April 2018

Kebosanan karena Selalu Dibenarkan

Di dalam roman Zadig karya Voltaire, ada satu cerita tentang seorang pembesar yang hanya mau dipuji; Zadig (tokoh utama dalam cerita itu) menyarankan agar kemauannya itu diiyakan saja oleh semua orang. Jadi apa pun yang dilakukan oleh si pembesar, selalu dipuji. Apa pun yang dibicarakan, bahkan ketika ia belum selesai bicara, langsung saja diyakan dan dibenarkan oleh semua orang di sekitarnya.

Tapi dari respons yang demikian, lama kelamaan si pembesar tadi malah merasa tak nyaman dan akhirnya sadar akan keburukan (sifat haus pujian) itu. Sejak itulah ia bertobat dan mulai belajar untuk rendah hati.
Share:

Sabtu, 31 Maret 2018

Semakin Tahu Semakin Tak Tahu

Terlalu banyak informasi yang beredar justru malah membuat orang jadi reaktif atau reaksioner; gampang berkobar oleh keberlimpahan informasi itu sendiri. Reaksioneritas itulah salah satu yang dimaksud Jean Baudrillad dalam pernyataannya: "Kita adalah budaya ejakulasi dini." Bahwa semakin kita tahu banyak hal, semakin kita tak tahu apa-apa. Seperti menderas air dari keran ke gelas: semakin deras, semakin bertumpah ruahlah seluruh isi di dalam gelas itu.
Share:

Jumat, 30 Maret 2018

Peradaban Dangkal

Di zaman yang super materialistik ini orang bisa melakukan apa saja demi iming-iming uang, harta benda, dan segala yang hari ini didefinisikan sebagai "mapan", "sukses", dan "kaya raya". Tak heran orang bisa menipu keluarganya, memakan bangkai saudaranya, menjual anak-istrinya, menggadai agamanya, hingga melecehkan Tuhannya demi pundi-pundi materi.

Pokoknya, orang-orang yang demikian itu hanya berpikir yang penting bisa berjaya dan tertawa terbahak-bahak di dunia meski harga dirinya tak ada dan nuraninya ia hina. Pun dalam hal bernegara, demi ilusi kemajuan dan berhala pembangunan, tak masalah bila mereka harus menjadi pengemis, tukang utang, dan budak bagi bangsa lain.

Sungguh peradaban yang dangkal!
Share:

Jangan Kerdilkan Agamamu oleh Perilakumu Sendiri

Jangan kerdilkan agamamu dengan selalu menyertakannya dalam kekerdilan dirimu. Sebab orang akan menghakimi baik-buruknya agamamu tergantung baik-buruknya kamu. Dalam kehidupan sosial, yang menjadi imbas penghakiman dari setiap perbuatan kita adalah atribut yang suka kita bawa-bawa ke arena sosial. Umumnya tak hanya agama, melainkan juga suku, ras, golongan, dan keluarga, khususunya orangtua. Semua akan kena imbas penghakiman sosial. Jadi alangkah eloknya bila kita terlalu sesumbar dan mengatasnamakan ini itu dalam setiap tindakan dan perbuatan kita sehari-hari.
Share:

Kamis, 29 Maret 2018

Pemilihan Rakyat

Kalau ada pemilihan presiden, maka perlu ada juga pemilihan rakyat, ialah cara untuk mendapatkan rakyat yang betul-betul layak menjadi rakyat. Sebab, sebagaimana aforisme saya dua abad yang lalu: "Tanpa nalar masyarakat yang cukup, negara hanyalah kerlip lampu menuju redup."Bahwa kebenaran dalam kehidupan sosial itu mestinya bukan ditentukan oleh suara terbanyak, tapi suara terlayak. Karena kalau dasarnya cuma suara terbanyak, akan fatal jadinya bila yang bersuara itu bukan orang-orang yang kompeten--yang tak punya penalaran yang baik.

Saya tahu betul kualitas pikiran orang-orang macam Roni Madura, Samiun Lola, Suryadi Cimol, dan lain-lain yang, maaf saja, mereka tak punya kompetensi nalar yang oke dalam memilih pemimpin. Saya menghargai orang-orang macam Roni Madura, Samiun Lola, Suryadi Cimol, dan lain-lain sebagai pribadi. Namun, tanpa mengurangi rasa hormat sedikit pun kepada mereka, untuk dilibatkan dalam pemilihan pemimpin agaknya mereka belum layak.

Yang harus dicamkan, kedaulatan rakyat dalam hal bernegara itu bukan soal sekadar punya hak untuk masuk ke kotak suara, tapi punya kewajiban untuk diperjuangkan nasib hidupnya oleh negara. Prinsipnya, tujuan paling fundamental dari kemerdekaan suatu bangsa dan dibuatnya suatu negara adalah untuk memperjuangkan dan mempertahankan kedaulatan rakyatnya. Initinya, selama rakyat belum berdaulat maka itu artinya negara belum benar-benar berhasil menjadi negara.

Bahwasanya kedaulatan negara adalah kedaulatan rakyatnya, bukan pejabat, penguasa, dan partai politiknya. Maka selain pemilihan presiden, perlu kiranya diselenggarakan juga pemilihan rakyat agar terpilih rakyat-rakyat yang tepat untuk menjadi rakyat. Rakyat yang bisa membantu negara dalam mewujudkan cita-cita berdikari, berdaulat, adil dan makmur.





Share:

Rabu, 28 Maret 2018

Ketimpangan Gaji Edi Buruh Panci dengan Gaji Pejabat Tinggi

Baik-buruk seseorang itu dilihat dari perbuatan, bukan penampilan.

Kalau kita mau jujur, kerusakan yang terjadi di muka bumi ini, secara kualitatif, justru dilakukan oleh mereka yang berpenampilan sopan, necis, agamis, dan eksekutif. Silakan ke Lapas Sukamiskin kalau tak percaya. Mereka yang ada di dalam itu adalah mereka yang gaji sebulannya sama dengan penghasilan setahun Edi Buruh Panci. Bahkan penghasilan Edi Buruh Panci dalam setahun belum setara alias masih di bawah penghasilan para penghuni Lapas Sukamiskin saat masih aktif bekerja.
Share:

Selasa, 27 Maret 2018

Cara Berpikir Orangtua yang Bijaksana

Kalau anakmu membandel, mendebat, menghina, membangkang, atau melawanmu, kau boleh saja menduga: mungkin ada yang salah pada anakmu. Tapi kalau kau orangtua yang benar-benar dewasa, pintar, baik, dan bijak, maka dugaan pertama yang lebih patut kau kemukakan adalah, mungkin ada yang salah pada dirimu sendiri. Sebab sebagaimana lazimnya, tidak ada tanaman yang buruk atau manusia yang buruk. Yang ada adalah pembudidaya yang buruk.
Share:

Letak Kesesatan Filsafat

Setiap manusia pasti berfilsafat. Karena setiap orang pasti pernah berpikir dan mencari pola hubungan berikut menarik kesimpulan dari barang sesuatu yang ia amati. Dan seseorang takkan bisa mengatakan bahwa "filsafat itu sesat" dan sebagainya bila ia sendiri belum memfilsafati filsafat. Artinya, mau tak mau, ia harus berfilsafat untuk bisa menunjukkan letak kesesatan filsafat. Karena akan aneh dan lucu, bukan, bila ada orang yang dengan sadar menyesat-sesati suatu hal yang ia sendiri tak tahu dan tak paham betul tentang seluk-beluk suatu hal tersebut.
Share:

Senin, 26 Maret 2018

Kepala Kelapa

Jangan hanya menyimpan air di dalam kepalamu, tapi berikanlah kepada orang yang membutuhkan; tawarkanlah kepada mereka yang mengalami dahaga pengetahuan dan yang diliputi kebingungan. Agar dengan demikian kepalamu lebih berguna daripada kelapa.
Share:

Kompetensi Komentator

Tugas komentator itu bukan sekadar berkomentar, melainkan memberi komentar yang mutunya di atas komentar-komentar umum. Karena kalau cuma sekadar berkomentar, semua orang juga bisa berkomentar. Tapi karena ia punya kompetensi spesifik maka ia dipatutkan sebagai komentator. Misalnya menjadi komentator kompetisi ajang lomba nyanyi, kalau cuma bisa berkomentar semisal, "Oke, penampilan kamu bagus," atau, "Penampilan kamu kurang memuaskan," dan sebagainya tanpa mengurai sebab-sebab dan titik-titik persoalannya maka itu tidak memenuhi kriteria yang pas untuk menjadi komentator.
Share:

Minggu, 25 Maret 2018

Politisi Menipu

Setiap politisi akan berkata apa saja, bahkan mereka siap membolak-balikkan fakta dan menggadaikan agamanya, demi agar bisa didengar, dipercaya, dan diikuti. Dan fatalnya, bila kita tak belajar dasar logika, filsafat, dan ideologi maka oleh mereka kita akan jauh lebih gampang ditipu dan dikibuli. Sebab umumnya, mengelabui orang bodoh, bagi politisi, adalah semudah memilin tangan bayi.
Share:

Percaya Politisi adalah Percaya Fiksi

Omongan politisi itu cukup dianggap sebagai karya sains-fiksi. Kesannya saintifik, tapi sesungguhnya fiksi. Ide-ide mereka boleh saja diapresiasi, didukung, dan sebagainya. Namun yang perlu diingat: mereka itu cuma abdi partai. Pengabdian utama mereka adalah pada partai. Jadi tak perlu silau pada omongan dan janji-janji surgawinya. Karena itu memang tugas dan keahliannya. Mereka sama saja dengan, bahkan bisa jauh lebih "mematikan" daripada, seorang sales senior.

Nikita Khruschev pernah bilang, "Politisi di manapun sama, mereka berani berjanji membangun jembatan meski tiada sungai di tempat itu." Maka, kawan, cukup percaya saja pada Tuhan, jangan pernah percaya omongan politisi. Kalaupun Tuhan tak dipercayai, masa iya sama politisi malah percaya?
Share:

Selasa, 13 Februari 2018

Berpihak Pada yang di Luar Kekuasaan

Kalau ada dua pihak berseberang-pandangan hingga gontok-gontokan dan kita dipaksa harus memihak, maka berpihaklah pada pihak yang di luar kekuasaan. Karena mereka cenderung memunyai pandangan yang lebih kritis, objektif, jernih, luas, dan terbuka ketimbang pihak yang dekat dengan kekuasaan--yang umumnya terikat politik etis, bertindak sesuai hierarki dan status quo, serta berfatsun pada atasan (pemegang kuasa) yang lebih tinggi.
Share:

Minggu, 11 Februari 2018

Sabtu, 10 Februari 2018

Menyukai Seseorang tak Mesti Mengetahui Segala Hal Tentangnya

Menyukai seseorang tak mesti mengetahui segala hal tentangnya. Cukup temukan beberapa sisi uniknya dan dekati ia dengan penuh penghayatan—kecuali kepentinganmu adalah ingin menulis autobiografi orang yang kausukai itu. Ya wajar kalau harus tahu segala halnya. Misalnya, saya tak terlalu tahu banyak tentang WS Rendra. Saya hanya tahu beberapa hal tentangnya. Namu saya sangat mengaguminya dan betul-betul menghayati sari-sari pemikiran dan keberseniannya.

Kenapa saya tak harus tahu semua tentangnya? Menurut saya, kalau saya harus mengetahui segala hal tentang WS Rendra, khawatirnya saya malah akan kecewa. Karena tentunya setiap orang tak ada yang sempurna, pasti ada "cacat"-nya. Kiprah seseorang sebagai pengkarya dan pribadi itu tak mesti sama-sama cemerlang atau sama-sama buruk. Bisa bertolak belakang, malahan. Sebab kenyataannya, banyak orang yang karyanya baik dan diterima masyarakat luas, tapi sebagai pribadi, hidupnya berantakan.

Intinya, tak ada manusia yang bebas aib. Jadi kiranya tak perlulah mengaitkan karya seseorang dengan pribadinya atau sebaliknya. Kalau suka ya suka. Kalau tak suka ya tak suka saja. Selama bukan paksaan, tak masalah.
Share:

Jumat, 09 Februari 2018

Orang yang Salah Lebih Mungkin Benar

"Kesalahan adalah jalan sunyi menuju kesalehan." (Adimas Immanuel, Sajak "Perjanjian")

Orang-orang yang berbuat salah seringkali membuat kita menjadi merasa paling benar. Padahal sesungguhnya orang-orang yang berbuat salah itulah yang lebih dekat dengan kebenaran. Karena mereka berbuat salah, dan mereka tahu mereka salah, maka mereka menjadi lebih tahu bahwa mana yang salah dan mana yang benar.

Memang pada dasarnya untuk mengetahui kebenaran, kita tak mesti harus salah dulu. Sebab kita bisa belajar dari pengalaman (orang lain) dan bacaan. Tapi penghayatan atas kebenaran yang berasal dari kesalahan empiris jauh lebih kuat dibanding belajar kebenaran dari "menara gading".

Intinya, kalau ada orang yang berbuat salah, tak perlu ditertawakan, apalagi merasa diri lebih benar. Perubahan itu hukum yang bersifat pasti dan tetap di dalam kehidupan. Setiap makhluk pasti berubah. Kesalahan kita hari ini mungkin tak bisa dibenarkan, tapi bisa diperbaiki. Yang penting kita mau belajar, terutama belajar dari kesalahan. Dan selama seseorang mau belajar dari kesalahan, tak menutup kemungkinan besok-besok dia bisa jauh lebih benar dibanding orang lain. "Lebih benar dibanding orang lain" yang dimaksud di sini bukan soal benar yang petantang-petenteng dan buat gagah-gagahan menyalahkan orang lain, tapi benar dalam sikap diri dan perbuatan.
Share:

Rabu, 07 Februari 2018

Hasil Mengkhianati Usaha

Kalau betul "tidak ada usaha yang mengkhianati hasil", takkan ada orang yang bangkrut, miskin, kalah, kecewa, dan menderita. Jadi, "tidak ada usaha yang mengkhianati hasil" itu cuma sebuah kalimat motivasi yang tergesah-gesah dan pongah. Sebab kesunyataannya, "hasil" tak hanya ditentukan oleh "usaha" melainkan juga ada faktor lain—yang tak kalah besar pengaruhnya.

Apa saja faktor-faktor itu? Ayo kita cari dan temukan sendiri di dalam labirin kehidupan. Tentu tanpa meninggalkan senyuman, bekas ciuman, dan bayang-bayang masa silam. Karena dari sanalah ada pelajaran yang bisa kita jadikan sebagai pengetahuan untuk memperbaiki usaha kita di hari ini dan hari nanti.

Tapi tetaplah berusaha. Tetaplah bekerja. Tetaplah berjuang. Hasil, kesuksesan, kemenangan, laba, profit, dan lain-lain itu anggap saja sebagai bonusnya. Sebab nilai sebuah kemenangan, kesuksesan, dan lain-lain itu justru terletak pada prosesnya. Sedangkan hasilnya itu di luar kuasa kita. Dan jelas kita tak punya hak prerogratif untuk menentukan hasil dari suatu usaha.
Share:

Selasa, 06 Februari 2018

Takkan ada Penilaian yang Adil di Dalam Kebencian

Kalau orang yang berbeda pandang dan kepentingan denganmu kau benci dan musuhi, kau akan kehilangan kesempatan untuk belajar darinya. Padahal justru banyak pengetahuan yang bisa kita ambil dari lawan main kita, entah itu lawan debat, diskusi, maupun lawan politik sekalipun. Kalau kita kadung membenci-memusuhi lawan kita, tentu kita menjadi tak objektif dan tak berkepala dingin dalam memandang-menyikapi mereka. Sebab takkan ada penilaian yang adil di dalam kebencian. Sikap kita pasti tertutup dan cenderung menolak semua bentuk "kebenaran" darinya.
Share:

Senin, 05 Februari 2018

Menganggap Segala Persoalan sebagai Prioritas adalah Absurditas

Prinsip saya masih sama. Bahwa tak semua hal di dunia ini harus diketahui, apalagi dikomentari. Sebab adalah absurditas bila segala persoalan dijadikan prioritas. Maka biarlah orang yang menjadikan segala persoalan sebagai prioritas berikut mengomentarinya itu adalah mereka yang penggangguran atau kurang kasih sayang dan perhatian.

Tidak apa-apa. Dunia membutuhkan mereka untuk menambah warna-warni kehidupan.
Share:

Minggu, 04 Februari 2018

Sabtu, 03 Februari 2018

Jumat, 02 Februari 2018

Kamis, 01 Februari 2018

Selasa, 30 Januari 2018

Senin, 29 Januari 2018

Minggu, 28 Januari 2018

Ribut Masalah-Akibat, Lupa pada Masalah-Sebab

Kita kebanyakan meributkan masalah-akibat, dan cenderung lupa pada masalah-sebabnya. Kita sibuk memperbanyak ember untuk menadah rembesan air dari atap, tapi atap itu sendiri tak kita perbaiki. Dalam hal korupsi, misalnya, kita hanya fokus berpikir tentang bagaimana agar koruptor bisa ditangkap. Kita tak terdidik berpikir radikal dan analitis untuk memformulasikan suatu sistem yang tidak memungkinkan terjadinya korupsi.

Soal korupsi dan sistem ini, seorang anarko Errico Malatesta pernah memberi kisi-kisi, katanya begini: "Korupsi takkan bisa disembuhkan dengan hanya memenjarakan koruptor, karena sistem politiknya sendiri akar dari korupsi."

Maka jelas absurd bila kita saat ini berpikir bahwa semakin banyak koruptor ditangkap berarti keadaan menjadi semakin baik. Sebab mestinya tugas dan fokus utama negara adalah mencegah adanya korupsi, bukan menangkap koruptor. Percuma menangkap koruptor kalau korupsi jalan terus. Itu orang Tanimbar Kei bilang, "Harmes!" Artinya, sama saja. Mestinya yang dilakukan adalah pembenahan sistem. Dirumuskan suatu formulasi yang tidak memungkinkan (setidaknya meminimalisir) terjadinya korupsi. Dengan demikian tidak terus menerus berlahiran tikus-tikus kantor alias koruptor.
Share:

Sabtu, 27 Januari 2018

Jumat, 26 Januari 2018

Kaum Intelektual yang Sama dengan Anjing Herder

Kalau ada orang pintar membela penguasa secara membabi buta, jangan heran. Itu artinya otaknya sudah disumpal oleh kekuasaan. Jubahnya saja yang kaum intelektual. Namun harga diri dan idealismenya sudah habis dijual.

Memang umumnya, orang yang diberi makan oleh orang lain hampir mustahil bisa berkuasa atas dirinya sendiri; ia akan menjadi abdi bagi orang lain itu. Apalagi orang yang dari sononya bertujuan cuma buat bisa terus diberi makan?

Begitupun kaum intelektual yang orientasi hidupnya dominan untuk uang, jabatan, kekuasaan. Begitu tujuan mereka dipenuhi oleh penguasa, maka tamatlah sudah keintelektualannya. Kalaupun masih disebut kaum intelek, mereka hanyalah intelektual pengabdi, pembela, dan penjaga kekuasaan. Yang model begitu, tak jauh beda nilainya dengan anjing herder.
Share:

Kamis, 25 Januari 2018

Anak-Anak yang Anjing Pavlov

Kebanyakan orangtua kepada anaknya itu melatih, bukan mendidik. Maka tak heran bila manusia-manusia zaman sekarang mentalnya adalah mental anjing pavlov. Budak, pelayan, dan pemenuh ambisi dan keinginan prestisius orangtuanya. Sedang mereka (si anak-anak) kian hari kian terasing dari dirinya sendiri.
Share:

Rabu, 24 Januari 2018

Makar Manusia pada Setan

Tugas setan dalam menyesatkan manusia sudah melampaui target dan standar pencapaiannya setan. Sekarang, manusia sudah lebih setan daripada setan. Dengan kata lain, setan sendiri bahkan tak sanggup meniru kesetanannya manusia saat ini. Bahkan boleh jadi kesetanan yang dilakukan oleh manusia sudah melampaui kode etik profesi setan itu sendiri.

Tapi soal ini masih simpang siur. Artinya belum begitu valid. Maka untuk memastikannya, kita perlu membaca dan memelajari langsung konstitusi, AD/ART, dan kode etik bangsa setan secara serius dan ketat.
Share:

Selasa, 23 Januari 2018

Senin, 22 Januari 2018

Semua Makanan adalah Penunda Lapar, bukan cuma Okky Jelly

Tak hanya Okky Jelly, makanan apa pun pada dasarnya sifatnya adalah cuma menunda lapar. Sebab seumur hidup, manusia akan tetap dan terus merasa lapar. Apa pun yang kaumakan dan meskipun dimakan dengan hantam kromo sampai kekenyangan dan muntah-muntah pun itu sifatnya hanya menunda lapar. Karena 5-10 jam kemudian niscaya kau akan merasa lapar lagi. Kau butuh makan lagi. Dan kemudian nanti akan lapar lagi. Dan begitu yang terjadi seterusnya. Kalau Chairil Anwar bilang "hidup adalah menunda kekalahan", maka "makan adalah menunda kelaparan".

Yang fana adalah kenyang; lapar abadi.
Share:

Minggu, 21 Januari 2018

Perbedaan adalah Legitimasi Mutlak Kebudayaan

Keberagaman budaya, pergaulan, iklim, sejarah, kondisi alam, dan lain-lain menyiratkan bahwa setiap nilai (baik pengetahuan maupun keyakinan) yang dihasilkan oleh suatu kaum (kelompok) akan saling berbeda antar-satu dengan lainnya. Kalau kata Yuval Noah Harari, kebudayaan yang berbeda-beda akan menghasilkan kebaikan dan kebenaran yang berbeda-beda pula.
Share:

Sabtu, 20 Januari 2018

Yang Utama bukan Banyak Tahu atau Kurang Tahu

Sejatinya dalam hidup ini yang utama itu bukan banyak tahu atau kurang tahu. Tapi bagaimana cara kita menyikapi kenyataan hidup itu sendiri. Banyak tahu atau kurang tahu akan menjadi percuma bila cara kita menyikapi kehidupan kurang bijaksana, kurang dewasa, tak mengenal konteks, konyol, blunder, dan penuh ketergesah-gesahan.
Share:

Jumat, 19 Januari 2018

Tak Segala Hal di Dunia ini Harus Diketahui

Tak segala hal di dunia ini harus diketahui. Isi hati suami/istri, misalnya, kalau sampai diketahui bisa mengakibatkan ribut rumah tangga setiap saat. Akhirnya: pernikahan takkan awet, gampang bubar, dan sebagainya.

Maka, yang perlu dijadikan pegangan adalah bahwa dalam hidup ini memang ada hal-hal yang tak harus diketahui, bahkan akan lebih baik jika tidak diketahui. Biarkan saja jadi milik rahasia. Pasrahkan saja pada Tuhan.
Share:

Kamis, 18 Januari 2018

Tak Semua Hal itu Penting

"Sesuatu itu penting ketika sesuatu itu menjadi sesuatu yang penting." (Bertolt Brecht)

Hari-hari ini, kita perlu merenungkan aforisme Bertolt Brecht di atas. Agar kita tak sembarang menganggap penting segala sesuatu. Sebab di dalam lalulintas informasi yang masif seperti sekarang, banyak orang yang menganggap bahwa segala hal itu penting. Bisa kita saksikan, segala informasi yang ada, seremeh apa pun, tetap saja diperdebatkan dan dijadikan sebagai pemantik keributan.

Kalau kita telusuri, hal itu disebabkan oleh ketidakmampuan kita dalam mengategorikan informasi, sehingga membias dan rancu, segala hal kita anggap penting. Contohnya, artis yang melepas jilbab kita sikapi bak runtuhnya kakbah. Orang berebut jabatan kita anggap sebagai soal pertaruhan kedaulatan diri kita. Kejadian sering salah ngomong oleh seorang wakil gubernur lebih kita anggap penting ketimbang sistem hukum yang hancur. Persoalan personal artis dan fenomena politik praktis lebih kita anggap penting ketimbang pencurian kekayaan alam dan kerusakan ekologi. Jadinya absurd.

Kita seperti orang gelagapan di tengah laut yang alih-alih mencari pelampung, justru malah mendapat tempurung. Jadi mari kita belajar memetakan masalah. Bedakan mana yang lebih penting untuk dijadikan pembahasan dan mana yang hanya layak ditaruh di tempat pembuangan.
Share:

Rabu, 17 Januari 2018

Kalau Saya Bilang Orang Lain Bodoh Sebenarnya Saya Lebih Bodoh

Kalau saya bilang orang lain bodoh, sebenarnya saya lebih bodoh. Karena itu artinya saya belum mampu menyampaikan pesan dengan tepat agar diterima. Kalau saya menyebut orang lain bodoh, itu berarti saya belum bijaksana dalam mengendalikan diri saya sendiri.

Karena orang yang pandai, bagi saya, adalah mereka yang mampu menyampaikan pandangan yang berbeda kepada orang lain tanpa membikin/menambah konflik yang sudah ada.
Share:

Selasa, 16 Januari 2018

Mengakrabi Kekecewaan

Hidup justru menjadi sangat mengasyikan karena kenyataan yang kita alami seringkali tak sesuai dengan harapan dan pembayangan kita sebelumnya. Karena dari ketaksesuaian harapan dengan kenyataan itulah kita menemukan hal-hal baru. Entah pandangan baru, materi, teman, pekerjaan, cinta, prinsip, dan lain-lain.

Memang kita tentu kecewa saat mendapati kenyataan yang ada tak sesuai dengan harapan kita. Tapi kekecewaan bukanlah hal yang utama dan bukan segalanya. Malahan, kita mesti mengakrabi kekecewaan agar tak larut dalam keterpurukan berikut bangkit dan berjuang dengan lebih baik.
Share:

Senin, 15 Januari 2018

Minggu, 14 Januari 2018

Calon Penguasa yang Mengampanyekan Diri lewat Hiburan dari Biduan Tak Layak Dipilih

Kalau kita telisik fakta di lapangan mengenai pemilu, umumnya ketimbang mewartakan visi-misinya saat kampanye, calon kepala negara, calon kepala daerah, dan calon anggota legislatif, lebih memilih menghadirkan biduan untuk menghibur pendukungnya sendiri. Itu artinya pemilu bukan media untuk menjaring pemimpin yang kompeten tetapi alat untuk menghasilkan penguasa yang impoten. Calon-calon penguasa seperti itu sudah tentu tak layak dipilih.
Share:

Yang Perlu Menjadi Bekal Masyarakat Ketika Menghadapi Pemilu

Yang perlu dijadikan bekal pengetahuan dan prinsip bagi masyarakat ketika menghadapi pemilu presiden (pilpres) adalah bahwa jangan sedikit pun memercayai omongan mereka, kendatipun mereka berani berjanji bahkan bersumpah sekalipun akan menuntaskan kasus pelanggaran HAM, menyelenggarakan swasembada, menunjung tinggi hukum dan keadilan, berdikari, dan lain-lain.
Share: